Fungsionaris FPPP Lukman Hakim Saifudin menyatakan, tidak sepatutnya sebagai anggota menolak sebuah peraturan yang dibuat Pemerintah Daerah, DPRD dan stakeholder setempat. Mestinya, anggota DPR RI paham dengan tugas dan wewenang mereka sendiri. “Ini melampaui wewenang mereka,” ujar Lukman kepada pers di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Kamis (15/6).
Menurutnya, soal Perda Syariat Islam adalah urusan konsensus demokrasi lokal yang tidak seharusnya dikontrol dari pusat. Apalagi, dalam proses pengambilan keputusan Perda itu telah melalui mekanisme demokratis di DPRD, sehingga tidak bisa diputus begitu saja.
“Kalau mereka sebagai partai memiliki wakil di daerah, seharusnya dulu saat penentuan disoal, tidak begini caranya,” kritik Lukman sembari menilai gerakan 56 anggota DPR dari Golkar, PDS, PD dan PDI-P itu telah mengintervensni otonomi dan tidak mempertimbangkan kultur dan konteks sosial setempat.
Sementara itu, juru bicara Hizbut Tharir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto menyatakn, subtansi yang dimaksud dalam Perda-perda khas syari’at Islam itu tidak berpotensi menimbulkan diskriminasi pada agama dan kelompok lain. ”Tapi semangatnya adalah untuk memperkuat implemantasi Pancasila dan UUD,” tegas Ismail.
“Selama ini dalam norma hukum dan norma kesulilaan dan norma kesopanan sudah hidup, tinggal diresmikan di atas kertas hukum. Itu saja, yang menilai akan mecah belah, sama saja lecehkan agama Islam,” sambungnya.
Menurutnya, semua Perda yang saat ini diributkan 56 anggota DPR itu, telah digodok melalui proses legislasi dan sudah sesuai dengan aturan main. “Secara legislasi tidak salah, apalagi secara subtansi, lebih tidak salah lagi,” tambah dia.
Dijelaskannya, para penolak Perda-perda itu tidak melihat kepentingan warga telah menjadi kaki tangan kalangan industri seks yang terganggu dengan Perda.“Kalangan industri seks yang terganggu dengan Perda itu berada di belakang gerakan anggota dewan penolak Perda ini. Saya yakin ada kompensasi dan biasanya tidak menggunakan kwitansi,” paparnya. (dina)