Anggota Pansus RUU Jakarta Kota Megapolitan Effendy Simbolon menjelaskan, munculnya RUU Ibu Kota Negara itu karena UU No.32/2003 tentang Otonomi Daerah dan UU No.34 tentang Daerah Khusus Ibu Kota sudah tidak memadai lagi dan harus diganti dengan RUU yang baru yaitu RUU Ibu Kota Negara atau RUU Megapolitan.
“Tapi, Pansus DPR akan membahas lebih luas lagi di mana Jakarta sebagai Ibu Kota Negara mempunyai kekhususan,” kata Simbolon kepada pers di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Jum’at (3/3).
Hal ini perlu diatur, lanjutnya, karena Jakarta mempunyai kekhususan tersendiri. Misalnya di Jakarta ini terdapat perwakilan negara-negara sahabat, perlu keterpaduan tata ruang tanah, kawasan khusus untuk penyelenggaraan pemerintahan dan sebagainya.
Ia menambahkan, untuk daerah sekitar Jakarta seperti Tangerang, Bogor, Puncak, Depok, dan Bekasi yang akan terlibat dalam Megapolitan itu sifatnya hanya adminsitrastif. Jadi, tidak ada pencaplokan wilayah.
Karena Ibu Kota, menurut politisi PDIP, Jakarta berwenang mengatur kawasan yang meliputi Badan Otoritas, Bandara, Pelabuhan, jalan bebas hambatan, kehutanan dll (RUU Megapolitan Pasal 26). Sekali lagi katanya,” Tidak ada aneksasi—pencaplokan wilayah. Bahwa yang otonom itu pemerintahannya, bukan wilayah. Karena itu pemerintah harus memprioritaskan Megapolitan ini,” katanya.
Pakar planologi UI Husodo menilai megapolitan itu sudah menjadi kebutuhan. Justru kalau megapolitan ini gagal maka menjadi masalah baru bagi kota Jakarta dan sekitarnya. Ia pun merasa heran jika megapolitan ini dilihat sebagai hanya kepentingan Jakarta, karena sudah menjadi kebutuhan semua kota khususnya di sekitar Ibu Kota Jakarta. (dina)