Dradjad menilai utang Pemerintah Indonesia tidak aman, jika dilihat dari sudut penerimaan negara. Namun, utang pemerintah ini aman kalau dilihat secara ekonomi makro.
Amankah utang?
Menurut Dradjad, masyarakat sering rancu membedakan antara utang pemerintah dan utang negara. Utang pemerintah adalah utang yang dilakukan pemerintah, sedangkan utang negara adalah utang pemerintah ditambah dengan utang korporasi, termasuk BUMN.
“Tolok ukurnya yang klasik dalam ekonomi makro adalah ‘rasio utang pemerintah terhadap PDB’. Istilahnya public-atau government-debt ratio(GDR),” kata dia.
Jika ukurannya GDR, kata Dradjad, posisi GDR tahun 2017 itu 29,2 persen atau sangat rendah. Bahkan, di antara negara G20, Indonesia adalah negara kedua yang paling rendah GDR-nya. “Yang paling rendah itu Rusia, hanya 12,6 persen pada tahun 2017,” ungkap anggota Dewan Kehormatan PAN ini.
Yang paling tinggi adalah Jepang (250,4 persen), Italia (131,5 persen), dan Amerika Serikat (105,4 persen).
GDR Indonesia juga masih jauh di bawah India (69,5 persen) dan China (46,2 persen).
Apakah aman? Dradjad mengatakan, ini agak lebih njlimet melihatnya. Aman itu artinya pemerintah mampu membayar utang yang jatuh tempo, baik pokok maupun bunganya.
“Sumbernya (untuk membayar–Red) ada tiga, yaitu aset dan tabungan pemerintah, penerimaan pemerintah, dan utang baru. Di Indonesia, penerimaan pemerintah ini dalam APBN disebut penerimaan negara, baik pajak maupun bukan pajak,” papar Dradjad.
Jepang dan AS dengan tingkat GDR yang supertinggi itu, kata Dradjad, tergolong masih aman. Hal ini karena, pertama, rasio penerimaan pajak Jepang terhadap PDB (rasio pajak) tinggi. Rasio pajak Jepang sekitar 36 persen dan AS 26 persen.
Kedua, investor dunia memiliki kepercayaan yang sangat tinggi kepada kedua negara ini sehingga cenderung terus membeli surat utang baru mereka. Padahal, bunga surat utang mereka relatif sangat rendah.