Eramuslim.com -Pernyataan pemerintah yang menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai program andalan, ternyata tidak sesuai dengan alokasi anggarannya. Bujet untuk membayar utang ternyata lebih besar daripada untuk mendanai infrastruktur.
Ekonom INDEF (Institute for Development of Economic & Finance) Drajad Wibowo mengatakan, pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai program andalan, namun anggarannya kecil. Penerimaan negara terbesar justru untuk bayar utang.
“Di situlah letak masalahnya,” kata Drajad, Rabu (14/3) yang dirilis republika.co.id.
Dia mencontohkan, pada 2017, realisasi penerimaan negara pajak dan bukan pajak itu Rp 1.660 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 31 persen habis untuk membayar pokok dan jumlah utang.
Lebih ironis lagi, kata Dradjad, pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai program andalan. Pada 2018, anggaran infrastruktur dinaikkan menjadi Rp 409 triliun.
Meski anggaran infrastruktur itu kelihatan besar, ternyata anggaran ini jauh lebih kecil jika dibanding untuk pembayaran utang. Tahun 2017, kata Dradjad, pemerintah harus membayar pokok dan bunga utang lebih dari Rp 510 triliun.
“Artinya, program andalan itu bukan infrastruktur, tapi pembayaran utang dengan anggaran Rp 100 triliun di atas infrastruktur. Jadi, ada ketimpangan besar dalam alokasi anggaran,” kata ekonom senior ini.
Yang lebih serius lagi, lanjut Dradjad, beban pembayaran utang di atas itu adalah untuk membayar utang yang dibuat pemerintah sebelumnya. Padahal sebelum ini, GDR Indonesia hanya sekitar 23 persen. Dengan GDR yang makin tinggi, pemerintah sekarang memberikan beban yang lebih berat kepada pemerintah mendatang.