eramuslim.com – Juru Bicara Anies Baswedan, Andi Sinulingga menyebutkan drama politik di Indonesia didalangi oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Menurut dia, hanya orang yang berkuasa yang memungkinkan menjadi sutradara dari drama politik dewasa ini.
“Jadi yang paling layak untuk jadi sutradara itu ya presiden, dan itu terbukti kan banyak buktinya itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah ini, ini bahwa Jokowi itu adalah aktor sekaligus sutradara,” ungkap dia, kepada wartawan, di Jakarta Selatan, dikutip Jumat (10/11/2023).
Dia pun menegaskan tidak mungkin seseorang yang tidak memiliki kekuasaan menjadi dalang dari drama politik Indonesia, contohnya seperti wartawan, kata dia.
“Pak Jokowi sendiri yang orkestrasi, Pak Jokowi sendiri yang mempermasalahkan jadi Pak Jokowi itu sudah terlalu sering, bilang tidak akan impor, macam-macam yang dikatakan dilakukan sebaliknya,” jelasnya.
Imbas sejumlah drama yang Jokowi ciptakan, Andi pun mengatakan kini banyak masyarakat yang tidak percaya lagi.
“Dan bukti ketidakpercayaan itu adalah aktivis-aktivis PDIP sendiri, dari rumahnya sendiri dan itu disampaikan oleh tokoh-tokoh PDIP, Anda bisa cek sendiri jadi ya begitu,” tandas dia.
Drama yang dimaksud adalah kisruh yang tengah hangat diperbincangkan publik, yakni masalah keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman yang dinilai berpihak dengan memanfaatkan jabatannya guna melenggangkan Gibran Rakabuming Raka selaku keponakan ke Pilpres 2024.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengeluarkan putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023.
Putusan itu terkait dugaan pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan terlapor Ketua MK Anwar Usman.
“Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie membacakan putusannya.
“Sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor,” sambungnya.
Lebih lanjut, Jimly menjelaskan Majelis Kehormatan menyimpulkan bahwa para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti tidak dapat menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim yang bersifat tertutup.
“Sehingga melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan,” kata Jimly.
Selain itu, sambung dia, disimpulkan pula bahwa para hakim terlapor secara bersama-sama membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling mengingatkan antarhakim, termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pekewuh.
“Sehingga kesetaraan antarhakim terabaikan dan praktik pelanggaran etika bisa terjadi. Dengan demikian, para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” imbuh Jimly
(Sumber: Tvone)