eramuslim.com – Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Anas Urbaningrum, memberikan catatan penting bagi pemerintahan baru terkait penetapan garis kemiskinan di Indonesia.
“Jika perkara citra dikesampingkan dulu, start dari nol, sebaiknya batas angka garis kemiskinan dihitung berapa?,” ujar Anas dalam keterangannya di aplikasi X @anasurbaninggrum (10/10/2024).
Ia menyoroti bahwa batas garis kemiskinan saat ini, yang ditetapkan di bawah Rp 600 ribu per kapita per bulan, sudah tidak relevan dan tidak manusiawi.
“Jika sekarang hitungannya di bawah 600 ribu rupiah perkapita perbulan, berapa angka yang manusiawi? Misalnya, dinaikkan menjadi 1 juta rupiah perkapita perbulan,” ucapnya.
Anas juga menyadari konsekuensi dari perubahan tersebut, yaitu meningkatnya angka kemiskinan secara statistik. Namun, menurutnya, hal ini tidak perlu dipolitisasi.
“Konsekuensinya, angka kemiskinan kita pasti naik. Tidak apa-apa. Kan ini tentang angka. Kalau semua setuju, kenaikan angka kemiskinan tidak perlu dipolitisasi,” tukasnya.
Jika hal tersebut dilakukan, kata Anas, maka akan lebih terbuka dan bersemangat untuk mengurus orang miskin.
“Tidak sekadar menyatakan angka kemiskinan sekarang tinggal 9,03 persen, tetapi realitasnya orang yg taraf kehidupannya miskin jauh lebih besar dari angka itu,” sebutnya.
Anas menyerukan agar kebijakan kemiskinan ini dibuat lebih transparan dan tidak hanya mengedepankan citra.
“Waktunya hipokrasi angka diakhiri. Mulai dengan hitungan angka baru yang lebih jujur, manusiawi dan menjadi dasar ke depan untuk sesungguh-sungguhnya memperbaiki kehidupan fakir miskin,” Anas menuturkan.
Menurutnya, inilah cara terbaik bagi pemerintah untuk benar-benar membela kaum miskin dan menjalankan amanat konstitusi.
“Itulah cara pemerintah membela kaum fakir miskin. Itulah pelaksanaan perintah Konstitusi, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” imbuhnya.
Anas juga menjelaskan bahwa koreksi terhadap garis kemiskinan ini penting untuk dilakukan agar lebih tepat, jujur, dan manusiawi.
Salah satu alasannya, kata Anas, pernyataan kuat dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang pernah mengatakan, “Saya ingin mati membela rakyat.”
“Tentu seluruh rakyat Indonesia, baik yang kaya maupun yang miskin. Tetapi, yang paling depan untuk dibela adalah kaum fakir miskin,” terangnya.
Ia menekankan perlunya pemerintah memprioritaskan pembelaan terhadap kaum miskin.
Anas mengingatkan bahwa dengan mempertahankan batas garis kemiskinan yang rendah, seperti Rp 600 ribu per kapita per bulan, banyak masyarakat yang secara nyata masih hidup dalam kemiskinan tidak akan terdata dengan baik.
“Bayangkan, jika angka sekarang tetap dipakai, 600 ribu perkapita perbulan sudah tidak tergolong miskin, dan itu menjadi dasar bahwa angka kemiskinan kita 9,03 persen, perasaan berhasil menekan angka kemiskinan akan terjustifikasi. Hebat, orang miskin kita sudah tinggal 9,03 persen,” tandasnya.
Namun, Anas melanjutkan, jika garis batas tersebut dinaikkan, realitas kemiskinan yang sesungguhnya akan terlihat lebih jelas.
“Berbeda jika batas angkanya dikoreksi. Akan muncul semangat baru, karena sejatinya jumlah orang miskin tidak bisa disampul indah dgn prosentase 9,03 tersebut. Jauh lebih besar dari itu. Itulah startnya. Jauh dari hipokrasi dan eufemisme,” kuncinya.
(Sumber: Fajar)