Eramuslim.com – Bupati Tolikara, Papua, yang juga salah satu pentolan GIDI, Usman Genongga Wanimbo membenarkan ada perda yang melarang membangun tempat ibadah selain Gereja Injil di Indonesia (GIdI). Sebabnya, hanya lantaran aliran gereja tersebut yang pertama kali terbentuk di wilayah tersebut.
“Memang ada perda yang menyatakan bahwa di sini, kebetulan terbentuknya GIdI di sini, sehingga dianggap sudah gereja besar. Masyarakat di sini berpikir untuk gereja aliran lain tidak bisa bangun di sini. Mau tidak mau masyarakat menerima (perda) itu,” kata Usman dikutip dari Antara (22/7).
Bupati juga membenarkan bahwa di Tolikara terdapat perda yang melarang pembangunan Masjid. “Itu dalam bentuk peraturan bupati, Masjid dilarang juga dibangun dalam perda tersebut. Kalau Mushalla memang dari dulu ada,” tambahnya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memerintahkan pemerintah daerah Kabupaten Tolikara dan DPRD setempat meninjau kembali perda tersebut. “Coba di DPRD ditinjau kembali, kalau satu agama saja tidak bisa (membangun tempat ibadah), apalagi kalau berbeda agama,” jelasnya.
Kemarin, Mendagri Tjahjo Kumolo mengunjungi lokasi insiden kerusuhan pada Hari Raya Idul Fitri, Jumat lalu (17/7), di Karubaga, Ibu Kota Tolikara. Dalam kunjungannya, Tjahjo menggelar pertemuan dengan kepala daerah, tokoh masyarakat, aparat serta jajaran forum komunikasi pimpinan daerah (forkompida) setempat.
Disengaja oleh Bupati
Sementara, Ketua Aliansi Pergerakan Masyarakat Peduli Pembangunan Kabupaten Tolikara (APMPPKT) Rahmat Kogoya, mengungkapkan bahwa Bupati Usman Wanimbo adalah Ketua Panitia Pelaksana Seminar dan Kongres Pemuda GIdI di Tolikara.
Rahmat mengaku pernah pernah melaporkan kasus korupsi Bupati Tolikara atas penyelewengan dana-dana untuk Desa/Kampung ke pihak KPK maupun Kejati Papua.
Dalam keterangan tertulisnya kepada Pribuminews, kemarin, Rahmat mengaku, bukti kasus korupsi Bupati sudah disampaikannya ke mana-mana, tapi sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak yang berwenang. Bahkan pihaknya malah dituding diboncengi kepentingan politik saat melakukan aksi demo pada setiap kesempatan. “Jadi wajar kalau saat ini masyarakat Tolikara sudah muak dengan kinerja aparat penegak hukum. Korupsi sampai Rp 635 miliar yang didukung dengan alat bukti serta keterangan saksi sampai saat ini enggak tuntas-tuntas,” keluh Rahmat Kogoya.
Rahmat pun menduga kuat bahwa Bupati Tolikara sengaja menciptakan konflik di Tolikara guna menghindari proses hukum yang menantinya.
“Insiden 17 Juli kemarin hanya ulah oknum yang telah dipersiapkan oleh Bupati Tolikara. Mereka memanfaatkan masyarakat kampung yang masih primitif dan terisolir sehingga yang sejak lahir hingga tua masih tetap di Tolikara mereka tidak pernah tahu dunia luar Tolikara itu seperti apa, pentingnya menjaga toleransi antar umat beragama itu bertujuan untuk apa, karena yang mereka tahu bahwa Negara Indonesia itu hanya Papua dan Tolikara,” tutur Rahmat Kogoya.
Rahmat juga mengaku bahkan telah menyerahkan alat bukti di kantor pusat BIN bulan Februari lalu. “Jadi kalau mau melihat insiden 17 juli kemarin jangan dilihat sepenggal-sepenggal, tapi kamilah saksi sekaligus korban yang berada di daerah. Ini karena ada pembiaran atas kesewenang-wenangan, karena ada pembiaran maka tingkah Bupati Tolikara semakin ngelunjak. Ibarat anak sekolah tiap tahun akan naik kelas, ada Negara di dalam Negara,” tandasnya.(rz/pribuminews)