Pancasila kembali diuji ketika gubernur DKI terpilih Anies Baswedan menggunakan kata ‘Pribumi’ dalam pidato pertamanya. Sebagian kalangan menuding bahwa Anies bersifat diskriminatif, rasis, dan bertentangan dengan ‘kebinekaan’.
Kalangan ini menarik sekali sebetulnya. Sebelumnya, kalangan yang sama pernah mendukung seorang pejabat publik yang terkenal dengan kekasaran lisannya dengan dalih bahwa toh kerjanya bagus. Padahal ‘beradab’ adalah konsep kemanusiaan menurut Sila Kedua, dan karakteristik pemimpin adalah ‘hikmat kebijaksanaan’ menurut Sila Keempat.
Tiba-tiba kalangan ini berubah pikiran seketika saat calon gubernur yang tidak mereka sukai menggunakan kata yang ‘tidak pantas’. Anies tidak mendapatkan kesempatan untuk dilihat dulu kinerjanya, ataupun prasangka baik sebagaimana yang didapatkan oleh Megawati Soekarnoputri dan Susi Pudjiastuti yang tidak terlalu lama sebelumnya juga menggunakan istilah ‘pribumi’.
Kalangan ini pun bingung dan tidak melihat konteks penggunaan kata ‘pribumi’ dalam pidato Anies secara keseluruhan, yang jelas tidak berbicara masalah rasial. Padahal, sebelumnya kalangan yang sama mengkritik kriminalisasi penistaan agama karena harusnya peserta ABI memperhatikan konteks. Kritik ini memang betul, karena perlu diingat sekali bahwa ucapan kontroversial gubernur Basuki terjadi sedang melakukan penyuluhan budidaya ikan di Kepulauan Seribu. Beda dengan Anies Baswedan yang tidak ingin rakyat Indonesia ekonominya didominasi oleh asing.
Pancasila kembali diuji ketika datang Perppu Ormas yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR. Saat itu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi korban pertama. Membingungkan sekali bagaimana naratif dibangun, yaitu bahwa diperlukan sebuah hukum untuk melarang ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Padahal, larangan ormas bertentangan dengan Pancasila sudah ada di UU Ormas yang lama.