Misalnya saja, selama ABI dan pemilihan gubernur DKI Jakarta, sebagian kalangan berteriak bahwa ‘tidak boleh menunggangi isu agama untuk kepentingan politik’. Mungkin membingungkan dan menimbulkan pertanyaan, mengapa ketika para kandidat pilgub mulai menjual janji-janji dalam hal ekonomi dan kesejahteraan, malah tidak ada yang berteriak ‘tidak boleh menunggangi isu ekonomi dan kesejahteraan untuk kepentingan politik’.
Padahal alasannya jelas, karena suara tadi adalah berdasarkan konsep manusia menurut August Comte. Comte mengatakan bahwa manusia yang paling maju adalah mereka yang berpikir positivis, yaitu berdasarkan hal-hal konkrit materialistis.
Di sisi lain, manusia yang masih berpikir dengan menggunakan agamanya adalah manusia yang paling primitif. Perdebatan filosofis tentang kebenaran konsep ini bisa panjang. Tapi apakah pola pikir ini sesuai dengan Pancasila, yang menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama?
Masih bingung kita memikirkan jawabannya, ternyata kita dapati orang-orang yang sama malah mulai berteriak “Aku Pancasila” dalam isu lain yaitu soal Perppu Ormas. Rasanya ada yang agak janggal?
Dua sisi perdebatan pada kasus penistaan agama pun menyitir Pancasila, dengan pertanyaan utama yang besar: Apakah menista agama adalah bersesuaian dengan Pancasila? Sebagian kalangan berpendapat bahwa jelas tidak, hingga Mahkamah Konstitusi dulu pernah menolak membatalkan Pasal Penistaan Agama dan kini Pengadilan Negeri Jakarta Utara memberi vonis 2 tahun pada Gubernur Basuki.
Sebagian kalangan lainnya tampaknya berpendapat bahwa Pancasila membutuhkan masyarakat yang bebas menista agama lain. Memang tampak tendensius pernyataan ini, tapi barangkali Pasal Penistaan Agama memang membutuhkan kajian lebih lanjut. Di luar perdebatan dalam masalah kebebasan berekspresi, yang tentu ada batasnya menurut konstitusi. Banyak pihak mengkhawatirkan perumusan pasal yang kurang jelas, dan barangkali kekhawatiran itu ada benarnya.