Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Ahmad Heryawan dalam siaran persnya, Senin(1/5) menyatakan, revisi UU Ketenagakerjaan tidak lebih dari pesanan IMF belaka. Pasal-pasal yang diungkapkan dalam rancangan revisi UU Ketenagakerjaan, terlihat jelas hanya melapangkan jalan bagi masuknya kepentingan IMF tanpa ada perlawanan dari rakyat dalam hal ini kalangan buruh.
Heryawan setuju, jika pemerintah juga mendukung kalangan pengusaha. Namun, dukungan tersebut bukan dengan cara mengebiri kepentingan buruh yang selama ini sudah terjepit. Dukungan terhadap pengusaha seharusnya dilakukan dengan memangkas birokrasi dan perizinan usaha yang ruwet, serta memberantas pungutan-pungutan liar yang memberatkan.
"Sudah menjadi rahasia umum bahwa penghambat investasi di Indonesia adalah budaya korupsi bukan kaum buruh. Oleh karena itu yang harus diperbaiki untuk mendukung investasi adalah memangkas ekonomi biaya tinggi dan birokrasi yang panjang, " katanya.
Ahmad mengungkapkan, sebuah riset yang dilakukan Serikat Pekerja Nasional (SPN) menunjukkan, tingginya biaya siluman akibat birokrasi yang korupsi. Penguasaha harus mengeluarkan biaya siluman untuk pungutan-pungutan tidak jelas sebesar 19-24% dari seluruh pengeluaran perusahaan. Sementara untuk upah buruh, hanya 4-6% saja.
“Seandainya, biaya siluman itu bisa ditekan sebesar 10% saja dan dana itu dialihkan untuk menaikkan upah buruh, saya yakin buruh akan lebih sejahtera. Jika buruh sejahtera, maka aksi-aksi demo menuntut kesejahteraan tidak akan terjadi lagi. Jika pungutan liar itu bisa dihilangkan, saya yakin akan banyak perusahaan yang berinvestasi di Indonesia yang berakibat tumbuhnya lapangan kerja baru, " ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya,tuntutan keberpihakan kepada pengusaha harusnya dijawab oleh pemerintah dengan perbaikan proses perizinan dan pemberantasan pungutan liar secara tegas. Ia mencontohkan, lama proses perizinan saat ini mencapai 5-6 bulan seharusnya tidak lebih dari 40 hari jika ingin investasi masuk ke Indonesia dengan lancar.
Lebih lanjut Heryawan menyatakan, draf revisi UU Ketenagakerjaan belum berpihak pada buruh. Sebagai contoh klausul mengenai pekerja kontrak yang akan diperpanjang. UU lama mengatur masa kerja kontrak maksimal selama dua tahun setelah itu diangkat sebagai pegawai tetap. Dalam draft revisi masa keja kontrak akan diperpanjang selama 2×5 tahun, itu sama saja dengan membiarkan buruh berada dalam ketidakpastian selama itu.
dirinya juga tidak setuju outsourcing tenaga kerja diberlakukan pada lingkup bisnis inti perusahaan. Itu sama saja dengan menghapuskan tanggung jawab perusahaan terhadap pekerjanya. Hal itu benar-benar tidak adil, ujarnya.
Heryawan menilai,substansi revisi UU ketenagakerjaan sangat merugikan pekerja. Di antaranya, diperbolehkannya mempekerjakan anak usia 3-15 tahun dan upah minimum disesuaikan dengan kesepakatan pengusaha dan pekerja. Serta dihapusnya kewajiban pengusaha meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya.(travel)