Eramuslim.com – Kalijati hanyalah nama sebuah kecamatan di kabupaten Subang, Jawa Barat. Namun di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan inilah, kekuasaan kolonialisme Belanda yang sempat bersimaharajalela selama bertahun-tahun di sebagian besar wilayah Nusantara berakhir secara tragis di tangan fasisme Jepang.
Menyerahnya Belanda kepada Jepang mungkin tidak pernah berlangsung di Kalijati jika di sana tidak pernah dibangun pangkalan udara. Sewaktu Belanda memiliki dua pesawat terbang air atau Glen Martin muncul gagasan untuk memiliki pesawat terbang yang dapat mendarat di tanah. Untuk merealisasi keinginan itu dua pesawat Glen Martin yang ditempatkan di pelabuhan Tanjung Priok pun lantas dipasang roda.
Di saat yang hampir bersamaan diputuskan untuk membangun bandar udara di Kalijati. Pada waktu itu kondisi landasan masih sangat sederhana berbentuk sebidang lapangan rumput dengan beberapa bangunan terbuat dari bambu serta hanggar sebagai tempat parkir pesawat juga belum ada.
Pada 1 Agustus 1921 pemerintah Hindia belanda membuka sekolah penerbangan pertama di Kalijati. Pada Januari 1840 institusi penerbangan itu diubah statusnya menjadi Penerbangan Militer sebagai bagian dari kekuatan militer KNIL.
Pangkalan udara Kalijati merupakan satu-satunya pangkalan militer yang paling dekat dengan lokasi pendaratan balatentara Jepang di Eretan Indramayu pada akhir Februari 1942. Tidak heran jika Kalijati menjadi sasaran penyerangan.
Di bawah komando kolonel Shoji pasukan Jepang yang berjumlah sekitar 3 ribu orang bergerak ke arah Kalijati dengan menggunakan sepeda dan panser. Dengan relatif mudah pangkalan udara Kalijati berhasil direbut. Dari sana Jepang mulai bergerak ke arah Bandung. Meriam-meriam yang disiapkan Belanda untuk menghadapi pasukan Jepang di sepanjang Jalan Raya Subang Bandung tidak berhasil membendung tentara Jepang. Pimpinan KNIL Jendral Ter Poorten yang berada di Bandung tidak punya pilihan selain meminta berunding. Poorten punya otoritas untuk itu karena sejak 4 Maret 1942 Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh sudah tidak menjabat lagi sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Hindia Belanda. Lagipula sejumlah pimpinan pemerintah Belanda telah hijrah dan mendirikan negara darurat di Brisbane.
pada tanggal 7 Maret 1942, ter Poorten dan Gubernur Jendral Tjarda sepakat mengirim utusan menemui panglimaImamura di Kalijati. Namun utusan itu ditolak karena Imamura hanya mau berbicara dengan panglima tentara atau gubernur jenderal saja.
Ketika perundingan digelar Jendral Ter Poorten hanya bersedia menyerahkan bandung saja. Opsi itu ditolak Imamura yang memnginginkan kapitulasi untuk seluruh wilayah Hindia Belanda. Jika opsi itu ditolak Imamura mengancam akan menghujani Bandung dengan pesawat tempur yang sudah disiagakan di Kalijati. Ter Poorten diberikan kesempatan berfikir 10 menit.
Rentang 10 menit itulah yang sangat menentukan. Di detik-detik yang menentukan itulah terjadi percakapan antara mereka. Percakapan singkat yang dengan cepat mengubah sejarah Indonesia secara drastis.
Imamura : ” Apakah tuan bersedia menyerah tanpa syarat?”
Ter poorten : ” Saya menerima untuk seluruh wilayah Hindia Belanda.”
Peristiwa itu berlangsung pada Minggu 8 Maret 1942 malam harinya sekitar pukul 23.00 Bert Garthoof penyiar radio Nederlandsch Indische Radio Omprep Maatschappij menutup siaranya dengan kalimat ringkas. “Kami tutup siaran ini sekarang Selamat berpisah Sampai jumpa kembali di waktu yang lebih baik. Hidup Sri Ratu. “
Soekarno, Hatta, Sjahrir Tan Malaka dan semua orang yang terlibat dalam pergerakan nasional pasti tidak akan pernah menebak bahwa kekuasaan kolonial yang mereka perangi selama bertahun-tahun berakhir di Kalijati. (sumber:Taufik Rahzen/rz)