Musim liburan sekolah dijadikan momentum mempererat silaturahmi dan mengembangkan kreativitas, 5.000 orang santri cilik dari 33 propinsi mengikuti Festival Anak Sholeh Indonesia (FASI) VII yang akan diselenggarakan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 3-7 Juli 2008.
Ketua Panitia FASI VII, Ny Helmi Nasaruddin Umar menjelaskan, festival ini adalah ajang silaturahmi santri cilik anak-anak muslim Indonesia yang dirancang dalam bentuk beraneka ragam lomba ketrampilan yang bernuansa Islami. Direncananya acara itu akan dibuka oleh Ibu Hj Mufidah Yusuf Kalla.
Ia menyatakan, festival tiga tahunan ini memiliki arti penting di tengah-tengah makin meningkatnya tuntutan orang tua terhadap pendidikan akhlak yang bermutu bagi anak-anak guna mengantisipasi arus globalisasi informasi yang berpengaruh terhadap pembentukan moral dan akhlak anak.
"Marilah kita jadikan ajang FASI VII ini sebagai sarana untuk menyiapkan generasi kita menjadi masa depan yang tangguh di tengah-tengah arus globalisasi dunia, " ujarnya dalam keterangan pers yang didampingi oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar di Jakarta, Selasa (1/7).
Dalam kesempatan itu, Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar menyatakan, komitmen departemennya terhadap pendidikan anak bangsa, termasuk dalam pemberantasan buta aksara dan buta baca tulis Al-Qur`an. Namun demikian, ia mengakui masih terdapat kesulitan dalam menangani pendidikan anak-anak jalanan. "Masalahnya adalah mobilitas, tidak main di daerah dia tinggal, " katanya.
Oleh karena itu Ia juga berharap lembaga pendidikan mempunyai perhatian terhadap anak-anak jalanan atau anak yang memprihatinkan, agar mereka bisa mengecap pendidikan serta mendapat bimbingan nilai-nilai moral, sesuai dengan harapan kita untuk menyelamatkan moral anak Indonesia.
Nasaruddin juga mengakui masalah pendidikan termasuk pemberantasan Al-Qur`an khususnya di daerah terpencil bukan masalah yang mudah. "Di daerah perbatasan masih banyak yang tidak dapat perhatian khusus, " ujarnya yang juga Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur`an (PTIQ).
Di daerah tersebut, lanjutnya, tidak banyak guru ngaji, karena mereka tidak betah tinggal di tempat itu. Selain itu yang memprihatinkan masih adanya ustad-ustad lokal yang meninggalkan desa, urban ke kota. "Mereka di kota tidak lagi jadi ustadz, tapi kerja sebagai buruh bangunan, " pungkasnya. (novel)