Kondisi sosial budaya di Sumbar masih kondusif. Meski demikian, gerakan aliran sesat harus tetap diawasi.
Sebab dari 31 aliran yang sudah dinyatakan sesat oleh MUI Sumbar, sekitar 15 aliran masih aktif menjalankan aktivitasnya sampai saat ini. Diantaranya Ahmadyah, Jamiatul Islamiyah, Gafatar dan LDII.
Sementara itu perkembangan generasi muda juga harus diperhatikan. Persoalan ekonomi kadang mampu merubah akidah seseorang. Seperti yang dialami seorang anak di Payakumbuh yang berpindah agama karena tak kuat menanggung deraan kemiskinan. Begitu pula kasus Atheis Minang di Dharmasraya.
Demikian antara lain terangkum dari pertemuan yang digelar Kesbangpol Linmas Sumbar, yang dipimpin Kabid Pembinaan Kemasyarakatan Zulnadi dengan Ormas Islam dan Polda Sumbar, membahas masalah sosial budaya di Sumbar di Kantor Gubernur Sumbar, Kamis (2/8).
Menurut Nurman Agus dari MUI Sumbar, MUI sudah mengeluarkan fatwa dan menyatakan terdapat 31 aliran sesat di Sumbar, termasuk Ahmadyah, Jamiatul Islamiyah, Gafatar dan LDII. Aliran Gafatar sendiri hanya berganti baju dari aliran Komar yang sudah dinyatakan dilarang di Sumbar.
“Kita sudah keluarkan fatwa. Tentunya tugas Bakor Pakem yang mengawasi perkembangannya. Sebab aliran itu tidak dibekukan pemerintah,” ujar Nurman Agus.
Bahkan aktivitas jemaah Jamiatul Islamiyah sudah dikadukan pula ke aparat kepolisian, tetapi tak ada responnya. Selain itu aktivitas gereja yang disinyalir liar di kawasan Air Tawar Barat di Padang telah pula meresahkan warga. Lainnya ajaran Syaiful Karim di Solok yang menyinggung umat Islam dengan mengatakan tidak ada kapal Nabi Nuh.
“Kita minta aparat memproses Syaiful Karim ini. Apalagi Bupati Solok justru selalu bersamanya. Begitu pula laporan lainnya terkait aktivitas aliran sesat yang meresahkan masyarakat, kita harap aparat kepolisian dapat menindaklanjutinya,” kata Ibnu Aqil dari Paga Nagari menambahkan.
Ibnu Aqil juga mengeluhkan keberadaan sejumlah LSM dengan kedok mengembangkan ajaran Islam. Tapi dalam kegiatannya kelompok ini melakukan kegiatan menghimpun dana masyarakat. Tetapi semua hanya tipuan belaka. Kasus ini pun harus diusut tuntas oleh aparat kepolisian.
Menurut Wakil Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar, Bachtiar, seharusnya ketika MUI sudah menyatakan aliran itu sesat, maka pemerintah daerah harus bersikap tegas dengan melarang aktivitasnya. Sebagai contoh Ahmadyah. Pemprov Sumbar bahkan sudah mengeluarkan Perda tentang larangan aliran ini. Tetapi Ahmadyah tetap ada di daerah ini.
Tetapi ketika keberadaannya mulai mengusik ketenangan masyarakat, timbul reaksi keras menentangnya. Seharusnya penanganan masalah aliran sesat ini tidak cukup dengan reaktif saja, tetapi harus untuk jangka panjang sehingga, bila perlu dibekukan saja.
Pernyataan lebih keras disampaikan Majelis Mujahidin Indonesia Bukittinggi, Muzakir. Bencana yang melanda wilayah Sumbar tak terlepas dari kemaksiatan yang merajalela. Dari beberapa lokasi bencana yang dikunjunginya, selalu mencuat berita kemaksiatan di lokasi itu.
Orang yang tengah berpuasa pun tak lagi dihormati. Baru 10 hari puasa berlalu, aktivitas warung kelambu sudah marak di Bukittinggi. Warung tuak buka di siang hari. Begitu pula penjualan miras. Kondisi seperti ini tak bisa ditolerir. Pemerintah harus bersikap tegas bila tidak ingin bencana lebih besar menimpa masyarakat.
“Tetapi bila pemerintah masih diam, kami yang akan bertindak. Kami berencana akan melancarkan razia selama Ramadan ini,” katanya.
Menurut Zulnadi, masukan yang disampaikan ormas Islam itu akan menjadi bahan untuk mengambil kebijakan. Untuk aliran sesat, pihaknya memang tidak membekukannya. Tetapi aktivitas aliran itu tetap diawasi Bakor Pakem. Sedangkan ancaman melorotnya akidah generasi muda, diharapkan peran seluruh elemen masyarakat ambil bagian untuk memberikan bimbingan dan arahannya. Yang pasti pihaknya tidak lengah dengan kondisi sosial budaya yang kondusif saat ini.(fq/inilah)