Pemulangan warga Indonesia (repatriasi) dari Suriah terus dilakukan sehubungan dengan situasi yang semakin tidak aman. Warga Indonesia yang jumlahnya sekitar 12.500 orang tersebar di kota-kota, termasuk kota yang dilanda pertempuran antara pemberontak dan pasukan pemerintah Suriah, seperti Homs, Hama, dan Allepo.
“Kami terus upayakan sebanyak mungkin untuk direpatriasi,” kata konsuler politik Kedutaan Besar RI untuk Suriah, Iskandar Sukmadi, kepada Tempo kemarin. “Repatriasi ini tergantung selesainya semua proses.”
Proses yang dimaksud, kata Iskandar, antara lain berkaitan dengan negosiasi dengan majikan, masalah gaji dan hak-hak tenaga kerja Indonesia, serta aturan imigrasi.
Mayoritas warga Indonesia yang tinggal di Suriah berstatus sebagai tenaga kerja Indonesia. Hanya, KBRI kesulitan mengetahui jumlah pasti mereka karena sulit mendata keberadaan mereka.
Sejauh ini Damaskus, ibu kota Suriah, dianggap sebagai kota yang paling kondusif. “Di sini tidak ada situasi yang mengkhawatirkan bagi warga asing,” ujar Iskandar. Di Damaskus, warga Indonesia kebanyakan bekerja sebagai anggota staf kedutaan dan pelajar atau mahasiswa yang kuliah di beberapa universitas.
Menurut Iskandar, KBRI di Damaskus telah mengimbau warga Indonesia agar segera melaporkan keberadaan mereka di Suriah. Imbauan itu disampaikan melalui iklan di media lokal dan pesan pendek lewat telepon seluler kepada warga yang memiliki telepon seluler. Mereka diminta meneruskan isi pesan itu kepada warga Indonesia yang mereka kenal, dan juga mensosialisasi nomor hotline untuk evakuasi.
Konflik Suriah sudah berlangsung lebih dari setahun. Para pemberontak menuntut Presiden Bashar al-Assad mundur setelah berkuasa hampir 12 tahun. Pemerintah Assad dinilai sarat korupsi dan nepotisme. Rakyat Suriah penentang Assad terinspirasi oleh revolusi musim semi Arab di Tunisia dan Mesir.(fq/tmp)