Mari dengar apa yang hendak ia ucap saat saya kembali bertanya, “Lalu bagaimana sekarang kau menghidupi dirimu dan kedua orang tuamu?”
“Saya kerja jadi tukang bersih-bersih supaya tidak lepas jilbab. Tidak ada yang peduli atau keberatan dengan jilbab yang saya pakai. Saya lebih tenang dengan pekerjaan ini, Sister,” Ia mengucap kalimat di atas dengan binar bahagia. Semoga Allah merahmatimu, Kochana.
Saya kembali mendekat dan memeluknya. Aisha yang tengah memperhatikan kami tiba-tiba sudah berdiri di depan dan ikut memeluknya. MashaAllah, putri saya pun bisa merasakan ketegaran saudari dari negeri Sang Paulus ini.
Sister ini bagi saya tak sekadar teman, melainkan ada ikatan yang erat dan kuat yakni ikatan aqidah. Dan darinya saya belajar arti keteguhan dalam ucapan maupun perbuatan dalam menunjukkan identitas.
Ini saudari mualaf yang teguh dengan jilbabnya. Yang tak goyah dalam jalan imannya. Izinkan saya bertanya kepada saudari yang diberi kemudahan dan kelapangan:
Apa yang menghalangimu berjilbab?
Apa yang memberatkanmu berjilbab?
Apa yang membuatmu enggan berjilbab?
Oleh: Raidah Athirah
Kontributor IP, Penulis-Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Polandia