Eramuslim – Dalam salah satu kesempatan mengisi diskusi di grup WhatsApp mengenai jilbab, saya menceritakan kisah perjuangan para muslimah di sini, Polandia, dimana kebanyakan dari mereka adalah sister mualaf. Salah satu sister yang dekat dengan saya adalah Sister Cahaya.
Perjuangan dan keteguhannya memegang identitas sebagai seorang Muslimah, kadang membuat saya menangis terharu hingga saya tidak berhenti mengucap kalimat tahmid dan takbir.
Setelah ujian perihal mantan suaminya, Sister Cahaya masih terus berjuang dalam kondisi keluarga yang prihatin dan mencari pekerjaan dengan kondisi tetap berhijab. Pekerjaan sebelumnya sebagai nanny (pengasuh) dengan kondisi berjilbab membuatnya tak lagi dipekerjakan.
Ia bercerita pernah suatu waktu ia datang ke rumah untuk menjaga seorang bayi umur 8 bulan, entah mengapa ibu si bayi mulai merasa keberatan dengan jilbabnya.
“Kenapa kau tidak melepas penutup kepala itu, kau kan seorang Polish (Orang Polandia)?” begitu ibu si bayi mengeluhkan tentang jilbabnya.
Sister Cahaya menjawab, “Maaf Pani, saya tidak bisa, saya seorang muslimah,” begitu teguh meski dalam keadaan sulit sekalipun.
Saya pernah memberanikan diri bertanya, “Sister, mengapa kau tidak menutup kepala seperti turban agar tidak begitu nampak, mungkin dengan begitu mereka akan tetap mempekerjakanmu?”
“Tidak … Tidak, sampai akhir napas, jilbab ini akan selalu saya kenakan, Sister. Tak ada siapapun atau apapun yang bisa menggantikan hidayah yang telah Allah karuniakan ini,” jawabnya penuh keteguhan.
“Hidup ini sementara. Saya berdoa saya kembali menghadapNya dalam keadaan taat. Apa yang perlu saya khawatirkan, Sister?” ujar Cahaya.
“Allahu Akbar … Allahu Akbar,” saya bertakbir dan memeluknya dengan haru.