Eramuslim.com – Keputusan Prancis untuk melarang para atletnya mengenakan hijab menjelang Olimpiade yang digelar negara tersebut menuai banyak kecaman internasional.
Negara yang sekitar 10 persen dari 67 juta penduduknya beragama Islam ini kembali menarik perhatian dengan keputusan terbarunya yang melarang para atletnya mengenakan hijab yang berlaku efektif pada 26 Juli 2024, tanggal dimana api Olimpiade akan dinyalakan.
Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, mengumumkan dalam sebuah acara televisi bahwa para atlet wanita dalam delegasi Prancis tidak akan bisa mengenakan hijab selama Olimpiade berlangsung.
Keputusan ini memicu reaksi keras dan kembali memicu perdebatan tentang pelanggaran hak asasi manusia.
Sebelumnya, Prancis juga memberlakukan larangan abaya (pakaian panjang yang biasa dipakai Muslimah) di sekolah-sekolah.
Keberagaman
Federasi Olahraga Solidaritas Islam, sebuah kelompok yang terdiri dari negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), pada tanggal 2 Oktober menyatakan “keprihatinan yang mendalam terkait keputusan pemerintah baru-baru ini untuk mencegah atlet Prancis mengenakan jilbab di Olimpiade Paris mendatang.”
Federasi menekankan dalam pernyataannya bahwa “larangan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan, inklusivitas, dan penghormatan terhadap keragaman budaya yang diperjuangkan oleh Olimpiade.”
Pernyataan tersebut muncul setelah Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengatakan pada 29 September bahwa “tidak ada larangan untuk mengenakan hijab atau pakaian agama atau budaya lainnya.”
Posisi IOC dipuji oleh mantan Perdana Menteri Maroko Saad Eddine el Othmani.
Juru bicara kantor hak asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Marta Hurtado, juga mengungkapkan hal yang sama.
“Tidak seorang pun boleh memaksakan kepada seorang wanita apa yang harus ia kenakan atau tidak kenakan,” kata Hurtado dalam sebuah pernyataan.
“Praktik-praktik diskriminatif terhadap suatu kelompok dapat menimbulkan konsekuensi yang berbahaya,” tambahnya.
Dalam sebuah kritik tidak langsung terhadap posisi Prancis, Sekretaris Jenderal Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional, Ali al Qaradaghi, mengatakan bahwa “Kota-kota terbesar di Inggris telah menempatkan patung seorang wanita yang mengenakan jilbab di jalan-jalan mereka… Orang-orang yang berakal sehat memahami tatanan masyarakat mereka dan berusaha menghormati privasi identitas.”
Sekretaris Jenderal Delegasi Federasi Badan-badan Agama Islam Spanyol di kota Ceuta, Maroko, Idris al Wahabi, mengatakan bahwa keputusan Prancis tersebut “dimaksudkan untuk memprovokasi umat Islam secara umum dan Maroko secara khusus,” dan mencatat bahwa Maroko merupakan kelompok Muslim terbesar di Prancis.
“Kami bekerja sama dengan federasi dan badan-badan Islam yang ada di Prancis untuk menentang keputusan tersebut,” tambah Idris.
Kecaman di media sosial
Penolakan terhadap larangan hijab Prancis tidak hanya datang dari badan-badan regional dan internasional serta tokoh-tokoh masyarakat, karena kritik dan kecaman menyebar di platform media sosial X.
Penulis dan analis politik Yasser al Zaatara menggambarkan keputusan tersebut sebagai “histeria” terhadap jilbab dan “pelenturan otot terhadap Muslim.”
Mengkritik Presiden Prancis Emmanuel Macron, Al Zaatara memuji posisi IOC, menganggapnya sebagai “tamparan bagi Macron dan kelompok Islamofobia Prancis.”
“Presiden Prancis memerangi hijab di Prancis dengan dalih bahwa hijab bertentangan dengan sekularisme negara. Namun, dia tidak memiliki masalah menghadiri misa yang diadakan oleh Paus,” kata Mohsen al Obaidi al Saffar.
“Masalah Macron bukan pada agama, tapi pada Islam secara khusus,” tambahnya.
Abdel Hamid al Lingawi mengatakan bahwa “Prancis telah membuktikan bahwa mereka adalah negara rasis yang tidak layak menjadi tuan rumah Olimpiade.”
(Hidayatullah)