Kedua, ialah iklim gurun yang tidak bersahabat. Sebagai makhluk hidup yang terlahir di alam tropis, menghadapi cuaca panas padang pasir tentu membuat kita harus banyak menyesuaikan diri. Kedatangan saya di bulan Januari, sebenarnya bertepatan dengan musim dingin. Jadi, waktu malamnya lebih panjang disbanding waktu siang. Matahari terbit sekitar pukul 7 pagi, sementara maghrib sudah masuk waktunya tatkala jam menunjukkan pukul 6 sore. Tapi, sedingin-dinginnya iklim gurun, di siang hari sinar mentari tetap menyorot tajam. Agar kulit tak kering, saya harus mengoleskan lotion pelembab supaya tak terasa gatal. Aih!
Selama di Jeddah, suhu di siang haris bisa berkisar hingga 29°C, sementara di malam hari suhu bisa mencapai 21°C. Tapi di Madinah, kota suci Rasulullah SAW membangun peradaban Islam, musim dingin lebih menggigit. Di siang hari, suhu bisa mencapai 26-28°C, di waktu malamnya, suhu udara melonjak turun hingga 8°C. Brrrr! Meski demikian, satu hal yang membuat saya salut adalah, meski udara begitu dingin, masjid-masjid tetap menyalakan pendingin ruangan. Keruan, para peserta daurah dari Indonesia selalu mengenakan jaket atau sorban yang dililit di leher selama mengikuti majelis ilmu yang disampaikan para masyayikh.
Ketiga, ialah kondisi terkini ekonomi Saudi yang akan berefek kepada daya beli (lebih tepatnya daftar titipan oleh-oleh dari Tanah Air, red) dan nilai tukar uang rupiah. Tentu saja saya sangat bersyukur dapat berkunjung untuk pertama kalinya berangkat ke tanah suci. Selain, dapat menunaikan ibadah umrah, saya juga kelimpahan berkah bisa menuntut ilmu dari para masyayikh yang bersambung sanad ilmunya hingga Rasulullah SAW. Tapi saya datang di tahun yang kurang menguntungkan. Tepat di awal Januari 2018, Kerajaan Saudi melakukan reformasi yang ambisius. Sesuai dengan platform kebijakan Visi 2030 di bawah rencana besar Muhammad Bin Salman (MBS).