Eramuslim.com – Ketika visa untuk berangkat ke Arab Saudi keluar di menit terakhir jelang keberangkatan, ada tiga hal yang saya khawatirkan. Pertama, terkait profesi saya sebagai jurnalis. Saudi merupakan negara di Timur Tengah yang mengekang kebebasan pers. Kartu pers dan kartu nama yang menegaskan profesi saya sebagai jurnalis, biasanya saya bawa ketika hendak keluar negeri. Kali ini terpaksa saya tinggalkan di meja kantor.
Organisasi jurnalis terkemuka, Reporters Without Border merilis negara petrodollar itu berada di urutan ke 163, tepat di bawah negara remeh seperti Kazakhstan, Rwanda dan Srilanka. Saudi berada di daftar merah yang menyebut bahwa kondisi iklim jurnalistik di dalam negeri sangat memprihatinkan. Bandingkan dengan Indonesia yang berada di tingkat 139, masih aman bercokol di daftar kuning. Hal ini bisa terlihat jelas dari banyaknya jumlah aktivis dan publik figur yang ditangkap sejak September 2017 lalu, momen ketika Putera Mahkota Muhammad Bin Salman (MBS) berupaya mengkonsolidasikan kekuatan di tengah keluarga raja.
Sehari sebelum saya menaiki pesawat untuk bertolak ke Jeddah, pemerintah Saudi menangkap Saleh al-Shehi, seorang kolumnis surat kabar Al-Watan. Ia ditangkap karena kerap mengkritik kebijakan pemerintah Saudi. Tulisan-tulisannya menyinggung soal anggaran pengeluaran terkait dana pemberantasan korupsi, kebijakan ekonomi pemerintah dan perlakuan buruk negara itu terhadap para pekerja asing, termasuk kepada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Dengan berani, al-Shehi pernah menudingkan telunjuknya bahwa sumber utama korupsi di Saudi ialah para keluarga raja. “Setiap warga Saudi yang memiliki kontak dengan keluarga kerajaan atau yang terkait dengan mereka secara otomatis bisa membeli lahan strategis meskipun sebenarnya tanah itu tidak tersedia untuk publik,” tulis al-Shehi suatu kali.