Eramuslim.com – Selama ini kita hanya mengenal Sir Thomas Stamford Raffles, pendiri Bandar Singapura yang juga dikenal sebagai penulis The History of Java—buku sejarah Jawa setebal sepuluh sentimeter yang banyak dijadikan acuan utama sejarawan negeri ini—sebagai seorang yang hebat, cerdas, dan bersih. Sejarah ciptaan kolonialis telah memoles namanya hingga sekarang generasi muda bangsa mengenalnya sebagai seorang super hero. Padahal, kenyatannya berbanding terbalik dengan itu semua.
Tim Hannigan, penulis Inggris, ingin sejarah berkata jujur, apa adanya. Sebab itu, dia menulis sebuah buku sejarah tebal berjudul “Raffles and The British Invasion of Java” (2012). Dalam bukunya, Hannnigan menyebut Raffles sebagai perampok dan penjarah Keraton Yogyakarta.
Kisah dibuka pada kejadian Minggu sore, 4 Agustus 1811. Kala itu, John Leyden, penyair Inggris, turun di Cilincing, pantai utara Batavia. Ia mengenakan pakaian jubah bajak laut. Leyden mengacungkan pistol antiknya ke udara, lalu mengayunkannya seperti pedang Sinbad ke ayam-ayam yang sedang mengais makanan dikayu-kayu bekas kapal karam.
Dibelakangnya ada sekira 12.000 serdadu berjubah merah menyala dari 81 kapal Inggris yang mendarat di bawah arahan komandan operasi, Kolonel Rollo Gillespie, dan panglima operasi, Sir Samuel Auchmenty. Lalu tampak dua tokoh utamanya, Gubernur Jenderal India Lord Minto, dan tangan kanan Sang Gubernur Jenderal: Thomas Stamford Raffles.
Tak ada prajurit Belanda yang menghadang langkah mereka di pelabuhan. Tak ada halangan selain ayam-ayam yang marah diganggu oleh Leyden tadi. Belanda baru menghadang di pedalaman.
Setelah pertempuran beberapa pekan, Batavia akhirnya jatuh ke tangan Inggris pada 26 Agustus 1811 dan Gubernur jenderal Hindia Belanda, Jan Willem Janssens kabur ke Semarang, tapi akhirnya menyerah tiga pekan kemudian.
Penaklukan Jawa oleh pasukan Gillespie itu diumumkan di Inggris dan Belanda. Raffles pun diangkat sebagai Letnan Gubernur Inggris di Jawa, bagian dari kekuasaan Lord Minto, yang berpusat di India.
Dari Batavia inilah, Inggris berusaha melebarkan sayap kekuasaannya dengan mulai menyerang dan menguasai wilayah-wilayah yang dianggapnya memiliki daya tarik tersendiri, emas, perempuan, dan sebagainya.
Dalam bukunya, Hannigan menulis satu bab khusus soal penyerbuan dan perampokan Raffles yang kontroversial terhadap Keraton Yogyakarta:
Pada 20 juni 1812, sekitar 1.200 tentara Inggris yang terdiri dari separuh orang Eropa dan separuh lagi kaum Sepoi (India-Inggris) di bawah komando Gillespie membombardir tembok Keraton. Pasukan Keraton kalah jumlah, hanya sepersepuluh dari pasukan Inggris. Yogya jatuh tanpa perlawanan yang berarti.
“Kekalahan itu bukan hanya karena kuatnya pasukan Raffles, melainkan juga situasi internal Keraton yang sedang krisis,’’ terang Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada, Joko Suryo.
Hanya dalam semalam, Yogyakarta dikuasai penuh. Inggris hanya kehilangan 23 tentara. Keraton mengibarkan bendera putih tanda menyerah, tapi Gillespie tetap merangsek masuk dan, menurut Babad Pakualaman, dengan ganas menebaskan pedang ke kanan-kiri terhadap prajurit yang mempertahankan Keraton. Sebagian kecil prajurit masih melawan. Gillespie terluka di lengan kiri atas terkena tembakan bedil dari arah Masjid Suronatan yang ada di sebelah barat Pondok Srimenganti, tempat Sultan dan pengiringnya menunggu acara penyerahan kekuasaan secara resmi.
Sultan Hamengku Buwono ll ditahan dan diasingkan ke Wisma Residen Yogyakarta. Harta Keraton disita. Raffles dan Residen Yogyakarta John Crawfurd, merampas seluruh arsip dan pusaka Keraton, yang nilainya sekitar 800 ribu dolar Spanyol saat itu. Rampasan Gillespie pribadi senilai 15 ribu pound sterling dalam bentuk emas, perhiasan, dan mata uang (setara dengan 500 ribu pound sterling saat ini). Peti-peti harta itu diangkut ke Benteng Vredeburg. Manuskrip dan buku-buku diserahkan kepada Raffles dan Crawfurd.
Dengan meneteskan air mata, Sultan dan pendampingnya dipaksa menyerahkan keris dan perhiasan emas mereka. Sedangkan pedang dan belati Sultan kemudian dikirim Raffles ke Lord Minto di Kolkata, India, sebagai lambang ”penyerahan menyeluruh” Keraton Yogya kepada Inggris. Bahkan kancing-kancing berlian pada jas Sultan dicopot oleh serdadu Sepoi, yang bertugas mengawalnya, tatkala ia tertidur di tahanan. Bahkan gigi-gigi emas yang ada di dalam mulut pun dicungkildan diambil.
Di India, penjarahan harta taklukan adalah hal lazim. Barang jarahan merupakan imbalan besar bagi perwira Perusahaan Dagang Hindia Timur Inggris, dan tentara Inggris di India berusaha memiliki semua harta di benteng, istana, dan tempat pertahanan lain yang direbut dalam penyerbuan.
Raffles menjelaskan dengan singkat perkara ini dalam suratnya kepada Lord Minto: ”Semua barang berharga milik Yogyakarta jatuh ke tangan para penakluk. Tapi, dalam pembagian langsung di tempat, mereka mengarnbil untuk diri sendiri lebih banyak daripada sepatutnya. Saya tidak mengira mereka akan bertindak begitu cepat dan terburu-buru. Tapi, karena sudah terjadi, percuma melarang atau menghukumnya.”
Selama empat hari harta Keraton dipindahkan ke karesidenan dengan pedati dan kuli panggul. Yang paling banyak diangkut adalah senjata, wayang, semua gamelan keraton, serta arsip mansukrip dan naskah, kecuali satu kitab Al-Quran. Naskah-naskah itu mencakup karya sastra seperti babad dan dokumen, misalnya perincian tanah jabatan milik keluarga Sultan.
Sejarawan Inggris, Pater Carey, dalam Kuasa Ramalan jilid II yang bisa dianggap sebagai buku induk tentang Perang Diponegoro mencatat bahwa Crawfurd mengangkut sedikitnya 45 naskah berbahasa Jawa dari perpustakaan Keraton, yang sebagian besar dijual ke British Museum pada 1842. Koleksi yang lebih banyak lagi yang terdiri 55 naskah diambil Raffles untuk pemerintah lnggris. Naskah-naskah ini dikirim ke Bogor pada November 1814 dan menjadi inti koleksi naskah Jawa serta Nusantara milik pribadinya, yang sebagian besar kemudian diserahkan istri kedua Raffles, Sophia Hull, kepada Royal Asiatic Society pada183O setelah suaminya wafat.
Koleksi naskah paling banyak di tangan seorang perwira Inggris bernama Kolonel Colin Mackenzie. Sebagian besar koleksi ini dibawa pulang ke Benggala pada Juli 1813 dan kemudian dikenal sebagai The Mao kenzie Private Collection, yang disimpan di London. Sekurang-kurangnya 66 dari naskah dalam koleksi itu berbahasa Jawa. Sebagian harta berharga tersebut kini disimpan di British Museum. Sebanyak 140 barang milik Raffles yang disumbangkan Sophia Hull dapat disaksikan di sana. Barang itu bermacam-macam, dari lukisan dan gamelan hingga patung dan batik, termasukkepala patung Buddha dari Candi Borobudur.
Menurut Alexandra Green, kurator Asia Tenggara dan Selatan di museum itu, mereka memiliki 1.150 barang Raffles, yang 600 di antaranya boneka, topeng, dan instrumen musik. Sekitar 800 dari Indonesia dengan 740 di antaranya dari Jawa. Koleksi itu kebanyakan disumbangkan oleh keponakan Raffles, William Charles Flint Railles, pada 1859 dan cucu Flint, J.H. Drake, pada 1939.
”Koleksi wayang dan boneka adalah yang paling banyak. Ada lebih dari 450 wayang dan boneka dari Raffles, seperti wayang klithik, wayang kulit, dan wayang golek,” katanya.(Bersambung/Rizki Ridyasmara)
——————–
Dapatkan App Eramuslim for Android KLIK DISINI.