Eramuslim.com – Ahad pagi, 26 Desember 2004. Adzan Subuh baru saja melantun syahdu dari dalam Masjid Raya Baiturrahman. Hari masih gelap dan sedikit dingin. Beberapa orang tampak berjalan perlahan di pelataran masjid bersejarah ini hendak menunaikan sholat Subuh berjamaah, sebagian lagi yang berada di Pasar Aceh—sebuah pasar tepat di belakang masjid—tampak bekerja seperti biasanya.
Ada yang masih menurunkan kotak-kotak sayuran dari atas truk yang berjejer di jalan raya samping kiri masjid, truk ini tiap tengah malam berangkat dari daerah pertanian dan perkebunan di Aceh Tengah ke Banda Aceh, ada yang masih duduk-duduk di warung kopi menikmati hangatnya kopi Aceh yang terkenal, ada yang baru membuka toko dan bersih-bersih, ada pula yang masih ngobrol dengan sesamanya sembari duduk di tepi jalan.
Bagian dalam Masjid Raya Baiturrahman yang besar itu hanya terisi beberapa shaft, masih banyak yang kosong. Setelah beberapa puluh tahun mengalami sekularisasi dan serbuan budaya, Aceh bagai daerah-daerah di Indonesia lainnya di mana masjid hanya penuh jika sholat Jum’at dan sholat hari raya. Inilah kondisi ril wilayah yang pernah menyandang julukan Serambi Mekkah.
Waktu berjalan malas di Aceh. Sedikit demi sedikit, cakrawala mulai menghiasi langitnya. Bagai hari-hari kemarin, tidak tampak adanya perbedaan. Di lapangan Blang Padang, sekitar dua ratus meter sebelah selatan masjid, seiring dengan kian terangnya hari, ratusan warga Banda mengalir memadati lapangan untuk berolahraga dan sekadar refreshing.
Tukang-tukang jajanan pun telah menunggu pembeli di tepi jalan. Ayah dan ibu membawa anaknya berlari-lari kecil di atas rumput mengejar bola, jabang bayi dijemur dalam kereta oleh sang bunda, tawa riang anak-anak bermain, semuanya membuat pagi itu begitu indah dan hangat.
Jarum jam terus bergerak. Berdetak, lambat tapi pasti. Saat jarum jam menunjukkan angka 07.58 wib, nun jauh di dasar Samudera Hindia, sekitar 155 mil barat laut pesisir pantai Banda Aceh, lapisan bumi tiba-tiba bergetar. Awalnya kecil. Lama-kelamaan getaran kecil berubah kian cepat dan membesar bagai piring retak yang mau pecah. Dalam sekejap, dasar Samudera Hindia itu terbelah, membentuk sebuah jurang raksasa yang dalam dan panjang. Retakannya terus bergerak memanjang ke utara. Permukaan samudera yang berada di atasnya tiba-tiba anjlok.
Di pesisir pantai Ulee-Lheue, setelah gempa reda, para nelayan dan warga kampung terkejut menyaksikan air laut surut ratusan meter jauhnya ke tengah, menyisakan pasir laut, karang, tumbuhan laut yang layu, serta ribuan ikan besar kecil yang terus menggelepar.
Anak-anak, tua muda, laki-laki perempuan begitu takjub, mereka tidak mengerti apa yang tengah terjadi hingga laut menyurut jauh. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, secepat kilat berhamburan ke arah pantai memunguti ikan-ikan besar yang menggelepar itu. Kegembiraan itu tidak berlangsung lama.
Air laut yang menyurut itu, tiba-tiba, sangat tiba-tiba, menjelma menjadi monster hitam yang sangat menakutkan. Dengan suara bergemuruh laksana raungan pesawat jet tempur, samudera yang tadinya tenang berubah menjadi tembok air setinggi lebih dari tiga kali pohon kelapa, hitam pekat bercampur pasir dan batu-batu laut, bergulung-gulung menuju daratan.
Orang-orang di pantai terkesiap. Diam bagai patung dengan tangan masih memegang ikan-ikan yang baru saja dipungutnya. Jangankan lari, untuk bernafas saja amat sulit. Otak serasa berhenti. Hanya kedua mata menatap lekat “mahkluk menyeramkan” yang dengan cepat menghampiri mereka dengan raungan yang ganas.
Tak sampai satu tarikan nafas, gelombang hitam tinggi itu secepat kilat menyapu semua yang menghalanginya. Manusia besar-kecil, rumah, pohon, mobil, semua berhamburan bagai kapas ditiup taufan.
“Hari kiamat… pada hari itu manusia seperti kupu-kupu yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan…” (QS.Al-Qaari’ah: 1-5)
Gelombang raksasa itu terus melaju ke pusat kota tanpa ampun, menghantam apa saja yang menghalanginya. Orang-orang berlarian panik. Isak dan tangis bergantian dengan jerit kehilangan. Nama Allah terus-menerus diteriakkan. Masjid-masjid menjadi tempat berlindung. Takbir dan adzan memenuhi langit Aceh. Di hari itu ibu terlepas dari bayinya, suami terlepas dari isteri, dan anak-anak terlepas dari orangtuanya. Pasar Aceh yang penuh dengan manusia dalam tempo sekejap disapu gelombang besar.
Lapangan Blang Padang yang penuh dengan warga Aceh yang tengah berolahraga, dengan satu kedipan mata berubah jadi kuburan masal. Keriaan dengan cepat berubah jadi kesenyapan. Ribuan nyawa dalam hitungan detik lepas dari raga. Tsunami begitu dahsyat. Begitu cepat. Sebuah jam dinding di dalam salah satu kios di Pasar Aceh yang hancur jarumnya menunjuk angka 8.13.
Nun jauh beribu kilometer di sebelah timur Nusantara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tengah berada di Nabire, Papua. Presiden yang baru dua bulan dilantik tersebut tengah mengunjungi korban gempa yang baru saja mengguncang Nabire. Dari para ajudannya, presiden mendengar bahwa gempa juga baru saja terjadi di Aceh.
Awalnya dikabarkan jumlah yang tewas mencapai puluhan, namun dengan cepat berubah menjadi ratusan, lalu ribuan. “Bapak kaget sekali, sehingga pada tanggal 27 Desember Bapak langsung terbang menuju Aceh dari Jayapura,” ujar Ani Yudhoyono mengenang kembali tsunami Aceh dalam acara peresmian sekolah dan asrama’“Selamatkan Tunas Bangsa’ di kompleks Pondok Pesantren Teungku Chiek Oemar Diyan, Indrapuri, Aceh Besar (27/12/05).
Ketika menjejakkan kakinya di Banda Aceh, SBY tidak bisa berkata apa-apa. “Luar biasa kerusakannya, pantai-pantai di Aceh hancur, di jalan-jalan kami melihat orang-orang yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kami sempat shock, tidak bisa membayangkan. Air mata terus menetes. Akhirnya Bapak bergumam pelan, cobaan apa yang Allah berikan kepada kita…,” tutur Ani Yudhoyono.
Di jalan yang penuh lumpur dan puing, anak-anak kecil yang selamat hanya bisa terdiam dengan mata yang berlinang air mata. Wajahnya pucat pasi bagai baru melihat hantu yang sangat mengerikan. Ada pula anak yang terus menangis memanggil-manggil ayah dan bundanya yang entah kemana. Luka bercampur lumpur di tubuh tak lagi dirasa. Tertatih-tatih mereka berjalan di antara puing. Mencari sanak saudara yang bisa dikenal.
Orang-orang Aceh, besar kecil, larut dalam histeria kesedihan bercampur kengerian. Hari itu rakyat Aceh mengalami puncak kengerian dan keputus-asaan. Hari yang sangat panjang bagai kiamat terjadi di bumi.
Sore perlahan berganti malam. Gelap merangkum Banda. Anak-anak kecil terus menangis, ayah dan bunda tiada bertemu jua. Walau letih dan kedinginan, wajah-wajah belia bertelanjang dada dan belepotan lumpur itu tak juga mampu menutupkan mata untuk tidur barang sekejap. Jantung-jantung kecil itu berdegup dengan amat cepat. Dalam sekejap, ribuan anak-anak Aceh terenggut jadi yatim piatu. Dalam sepersekian detik tarikan nafas, anak-anak Aceh kehilangan ayah dan bundanya.
Di malam yang dingin dan gelap itu, mereka merindukan belaian dan dekapan ayah dan bunda, yang tiada kan pernah ditemuinya lagi sepanjang hayatnya… Dalam tidurnya yang tidak pernah bisa nyenyak, bibir kecil itu terus memanggil-manggil nama ayah bundanya. Badannya menggigil. Kedinginan. Dan lapar…
Ribuan anak-anak Aceh kini menjadi anak-anak tak bertuan. “Kami tidur semua di atas ubin basah ini, di dalam masjid, bersama ratusan mayat yang dikumpulkan di dalam,” papar Iswadi, pemuda Aceh yang sehari-hari bertugas di Masjid Raya Baiturahman, Banda Aceh, saat bertemu penulis di halaman masjid raya yang masih penuh lumpur.
Seorang kernet labi-labi, angkot khas Aceh, berkata pada penulis, “Tsunami ini adalah bala, bukan sekadar musibah bagi kami. Aceh harus bertaubat. Aceh harus kembali ke jalan Allah. Ini akibat dosa-dosa kami jua.” Kedua mata Syamsuddin, anak muda kernet labi-labi itu, memerah menyimpan duka yang dalam. Pemuda Aceh Besar yang daun telinga kirinya ditindik ini mengaku bersyukur kedua orangtuanya selamat. “Saya sekarang tidak lagi berani untuk meninggalkan sholat Bang,” ujarnya lagi.
Tsunami meninggalkan banyak pertanyaan besar. Ada keajaiban, tapi lebih banyak kepiluan. Pemerintah pusat yang sama sekali tidak siap menghadapi bencana besar itu menjadi panik. Kas negara yang telah puluhan tahun dirongrong pejabat negara tidak menyisakan dana task force dalam jumlah yang memadai. Pemerintah akhirnya membiarkan Aceh menjadi “bancakan” asing.
Hari-hari setelah tsunami, Aceh menjadi satu wilayah yang tidak bertuan. Nyaris tidak ada kedaulatan Indonesia di daerah ini. Tentara dan relawan asing berkeliaran dengan sangat bebas, hingga mencapai daerah-daerah yang tentara Indonesia pun tidak mampu menjangkaunya.
Ada peristiwa lucu di tengah kesedihan. Di satu lokasi di Meulaboh yang sempat terisolasi, TNI dan Polri tidak berani mengevakuasi mayat karena takut ditembak GAM dari ketinggian bukit-bukit yang berada di dekat kota. Anggota GAM pun tidak berani mengevakuasi mayat di situ karena takut ditembak TNI/Polri. Akhirnya, secara terpisah, kedua pihak yang bertikai itu meminta bantuan relawan dari satu organisasi Islam lokal untuk mengevakuasi mayat dari sana.
Dalam hitungan hari, dunia memusatkan perhatian pada bencana kemanusiaan terbesar abad ini. Dari segenap penjuru angin, lembaga-lembaga sosial kemanusiaan berdatangan ke Aceh. Tak dinyana, di tengah ratusan lembaga sosial kemanusiaan yang menjejakkan kakinya di Bumi Serambi Mekkah dengan niat tulus ingin meringankan beban penderitaan rakyat Aceh, terdapat banyak penginjil yang mempunyai agenda tersendiri untuk Muslim Aceh. Walau awalnya mengelak dan berkilah murni untuk menolong korban bencana tanpa diembel-embeli kegiatan penyebaran salib, namun tak berapa lama kemudian hal itu dibantah sendiri oleh pengakuan beberapa pentolan organisasi missionaris dunia. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
———————–
Dapatkan App Eramuslim for Android KLIK DISINI.