Eramuslim.com – Pasca Tsunami yang mengorbankan ratusan ribu nyawa Muslim Aceh, datang tsunami kedua berupa gelombang pemurtadan terhadap Muslim Serambi Aceh. Inilah catatan kecil tentang gelombang pemurtadan tersebut:
Laporan Banjarmasin Post
Banjarmasin Post, harian lokal Kalimantan Selatan yang masih satu kelompok dengan Kompas, dalam edisi Minggu, 16 Januari 2005 menurunkan satu laporan berjudul “Tim Ukhuwwah Bentrok Dengan Penculik Anak Aceh, Dibujuk Ke Luar Masjid, Lalu Dibawa.”
Secara lengkap berita tersebut tertulis: Menjelang waktu shalat Jumat (14/1/05), datang dua buah mobil yang di badan mobil itu tertulis “Pelita Kasih”.
Dari mobil itu turun beberapa orang, sedang di dalamnya ada dua orang asing (bule). Orang-orang yang mengaku dari sebuah LSM itu lalu membujuk anak-anak untuk keluar dari dalam Masjid Darussalam. Rencananya anak-anak itu dilarikan ke luar Aceh. Usaha-usaha untuk membawa lari anak-anak Aceh, yang orangtua mereka hilang atau meninggal dunia akibat gempa bumi dan tsunami yang sedemikian jauh dan menewaskan lebih 170.000 jiwa, terus berjalan.
Seperti yang terjadi di Masjid Darussalam, Jumat lalu. Sekelompok orang yang mengaku LSM mengendarai mobil “Tim Medical Philipina” bertuliskan “Pelita Kasih” berusaha membawa anak-anak Aceh. Beruntung Tim Ukhuwwah Pemuda Untuk Aceh (TUPUA) berhasil menggagalkan usaha penculikan anak-anak korban gempa bumi dan gelombang tsunami dari sebuah masjid di Banda Aceh itu untuk dibawa ke luar Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Asisten ketua posko penanggulangan bencana alam dari TUPUA, Ustadz Ali Effendy mengatakan telah terjadi bentrok antara TUPUA dengan sebuah kelompok LSM yang berusaha menculik anak-anak para pengungsi dari masjid untuk dibawa keluar Aceh. TUPUA ditugaskan Menpora Adhyaksa Dault, untuk mengawasi setiap usaha pengeluaran anak-anak Aceh dari NAD. Wahyudi mengatakan, kelompok itu berasal dari sebuah LSM, sebuah “misi non-Islam”.
“Mereka membujuk para pengungsi untuk keluar meninggalkan masjid dan berangkat bersama kelompok itu ke Medan, untuk selanjutnya dibawa ke Jakarta,” kata salah seorang pengungsi.
Usaha kelompok yang tendensius itu akhirnya gagal setelah TUPUA menghalanginya, diikuti oleh massa Muslimin yang mengusir mereka dari masjid tersebut. Kelompok “liar” itu akhirnya melarikan diri dikejar massa Muslimin. Kelompok tersebut, kata Wahyudi, bekerjasama dengan sebuah lembaga dari sebuah negeri asing.
Dirinci Arif Ramdan dari Banda Aceh dalam laporannya kepada Ketua Posko Induk TUPUA Ir Wahyu Iwa Sumantri di Cileungsi, Bogor, Sabtu petang, menceritakan bahwa menjelang waktu Jumat, datang dua buah mobil yang di badan mobil tertulis “Pelita Kasih”. Dari mobil itu turun beberapa orang, sedang di dalamnya ada dua orang asing (bule).
Mereka membawa seorang wanita dari masjid. Wanita itu dibawa masuk ke dalam mobil yang kemudian melaju ke luar masjid. Tetapi tidak berapa lama mobil itu datang bersama wanita tadi, yang tadinya murung, tampak ceria. Ia disertai seorang laki-laki Aceh. Orang-orang yang turun lagi dari mobil mendekati anak-anak dan membisikkan sesuatu.
Hal ini didengar oleh dua anggota TUPUA, yang sebagian besar menempati lantai dua Masjid Darussalam. Orang tersebut mengatakan kepada anak-anak itu agar membawa anak-anak lainnya yang banyak bermain di halaman masjid jauh ke luar dari para pengungsi. “Kalau nanti mereka jauh dari para pengungsi, kita akan bawa anak-anak itu,” kata mereka yang didengar dua orang dari TUPUA, Abdul Kohar (ahli terapi) dan Darusman. TUPUA terus memperhatikan tindak-tanduk orang-orang tersebut.
Mereka bertanya kepada tim apakah mereka termasuk pengungsi? Darusman balik bertanya, anda semua dari mana, apa maksud kedatangan anda? Tetapi mereka tidak menjawab pertanyaan itu. Selanjutnya Darusman mengsergah orang-orang tersebut, dan mengatakan anda orang kafir, tidak boleh masuk masjid, apa maksud anda membujuk anak-anak itu untuk keluar masjid. Orang-orang tersebut tampak gugup, kata Arif, dan kemudian mundur.
Sementara anggota TUPUA yang berjumlah lebih 40 orang yang berada di lantai dua masjid itu turun dan mengusir orang-orang tersebut. Massa kaum Muslimin yang berada di situ juga ikut mengusir rombongan dari “Pelita Kasih” yang mengendarai mobil bertulis “Tim Medical Philipina”.
Catatan Lain
Tentara Australia, lengkap dengan seragam tempurnya (Military Camo) bermotif Buny Pattern mendirikan instalasi penyulingan air bersih di depan Gereja Hati Kudus di Pante Pirak, Banda Aceh. Alat ini menyedot air Krueng Aceh yang mengalir di dekat Gereja dan setelah keluar dari alat penyulingan bisa langsung diminum.
Banyak warga Aceh termasuk para pengungsi yang harus berjalan kaki dari jauh untuk sekadar bisa mendapatkan air bersih siap minum. Namun penempatan instalasi air ini yang berada tepat di depan gereja membuat sejumlah warga Aceh curiga. Jangan-jangan ada misi tersembunyi di balik ini semua. Bukannya apa-apa, mengapa loksi ini yang dipilih padahal di sekitar ini tidak ada kamp pengungsian. Mengapa tidak didirikan di daerah Lambaro, Aceh Besar, yang banyak didirikan kamp pengungsian?
Salah satu “tokoh tsunami” yang cukup akrab di telinga masyarakat adalah Martunis. Bocah 11 tahun yang sempat terombang-ambing ombak dengan mengenakan kaos olahraga salah seorang pemain bola klub nasional Portugis kebanggaannya ini suatu hari ditemui dua jurnalis majalah olahraga “Record” asal Portugis.
Kedua jurnalis itu adalah Antonio sebagai reporter dan Miguel sebagai fotografer. Oleh keduanya, Martunis diajak ke halaman depan Masjid Raya Baiturrrahman. Lalu kedua orang ini memperagakan cara berdoa yang tidak lazim dilakukan orang Islam seperti Martunis, yakni dengan duduk bersimpuh membelakangi Masjid Raya Baiturrahman yang juga berarti membelakangi kiblat dengan kedua tangan dirapatkan sambil matanya menatap ke depan.
Sikap ini bagaikan orang sedang menyembah sesuatu Saat itu Martunis disuruh agar mengenakan kaos bergambar bendera Portugis. Miguel sempat mengambil beberapa gambar Martunis. Sejumlah Muslimin yang baru keluar dari masjid terkejut melihat hal ini. Beberapa orang dari dewan masjid di Jakarta segera menegur kedua orang asing itu agar tidak melanjutkan perbuatan mereka.
“Jangan menyuruh anak tersebut memperagakan cara berdoa di luar ajaran Islam.” Antonio dan Miguel, yang didampingi seorang penerjemah, dengan cepat mengubah cara berdoa tadi dan meminta maaf.
Ketua Harian Pelaksana Masjid Raya Baiturrahman, H Sanusi, menegaskan memang ada upaya-upaya untuk memurtadkan anak-anak Aceh oleh orang-orang asing. Kasus itu terjadi di kawasan Bandara Iskandar Muda dan Pulau Nasi dekat Pulau Weh. “Saya mendapat informasi tentang upaya pemurtadan di kawasan bandara Blang Bintang (Iskandar Muda) dan Pulau Nasi,” katanya.
Ulee Kareng merupakan satu kampung di Aceh Besar yang terkenal dengan kelezatan kopinya. Saat tsunami menghantam Aceh, daerah ini relatif tidak terkena dampaknya langsung. Sekitar enam hari setelah tsunami, warga Ulee Kareng suatu siang kedatangan satu tim relawan yang mengaku dari Bali yang menawarkan bantuan pengobatan dan rehabilitasi mental gratis, sembako, serta bahan bacaan.
Awalnya warga mau-mau saja menerima mereka, tapi ketika melihat bahan bacaan yang dibawa merupakan buku-buku dan majalah Kristen, maka warga sekitar pun menjadi geram. Mereka akhirnya mengusir tim relawan itu. Buku-buku serta majalah itu langsung dikumpulkan dan dibakar.
Ahad, 13 Maret 2005, sejumlah relawan asing di Lhoknga, Aceh Barat, diketahui melakukan kegiatan pemurtadan. Ponirin, saksi mata, memaparkan bahwa dirinya sudah mendengar hal ini maka ia sengaja menyusup ke sebuah barak pengungsian yang didirikan Unicef di Lhoknga. Ponirin yang menyusup dan berpura-pura sebagai pengungsi melihat di dalam sebuah tenda ada banyak tanda salib terpasang. Tenda tersebut dipenuhi warga Aceh yang duduk sambil mendengarkan kotbah dari seorang relawan asing yang berada di atas mimbar.
“Waktu itu, saya mengintip ke dalam, kemudian saya tunggu di luar sampai acara itu selesai,” ujarnya. Berdasarkan informasi dari seorang warga asal Lamno, Calang, yang ikut dalam acara itu, di dalam tenda tersebut warga hanya diminta mendengarkan khutbah dan akan diberi imbalan uang sejumlah Rp 2 juta. Warga itu bahkan menyatakan bahwa setelah diberi uang Rp 2 juta, mereka masih ditawari uang lagi Rp 8 juta, asal mereka mau menandatangani sebuah surat kesepakatan.
Menurut warga Lamno tersebut, tak semua warga mau menerima uang tersebut. Mereka langsung keluar dari tenda itu. Puluhan warga Aceh yang masuk ke tenda itu rata-rata berusia di atas 30 tahun, bahkan ada yang sudah berusia lanjut. Dari sekian banyak yang ikut, hanya sembilan orang yang setuju tanda tangan, kebanyakan yang sudah tua. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
——————–
Dapatkan App Eramuslim for Android KLIK DISINI.