Berbicara mengenai studi orientalisme tidak bisa terlepas pada motif politik kaum zionisme. Orientalisme dan misi-misi zionisme bagai dua sisi mata uang yang saling tersambung.
Kebencian kaum Yahudi dalam upayanya menaklukan Islam membuat mereka berpikir sangat panjang dan mendalam. Eksesnya wilayah kajian adalah cara empuk untuk mempreteli Islam satu demi satu.
Implikasi Politis dari Corak Kajian Orientalisme
Namun kendalanya, tidak jarang motif ini tertutup serapat mungkin. Orientalisme seakan-akan tampil manis dengan menyatakan diri terbebas pada misi apapun. Padahal sekalipun thesis itu benar, cepat atau lambat kajian orientalisme pasti akan berimplikasi politis.
Sebab dengan meninggalkan sisi tauhid dalam mengkaji Islam dengan dalih objektifitas, hal ini akan menjalar pada keseluruhan konsep Islam, termasuk pandangan Islam terhadap politik, relasi Islam terhadap Negara, relasi Islam terhadap kuasa, dan tak terkecuali cara pandang Islam terhadap non muslim.
Josef Von Hammer Purgstall (1774-1856) digadang-gadangkan sebagai peletak pertama corak kajian orientalisme seperti ini. Sarjana lulusan Vienna Oriental Academy ini terkenal atas kehebatannya sebagai dragoman atau ahli dalam menerjemahkan bahasa dan literatur Arab, Turki, dan Persia. Purgstall tercatat pernah berkiprah pada misi diplomatik pada tahun 1796 dan diangkat sebagai diplomat kedutaan Austria di Konstantinopel pada tahun 1799.
Crone Briton dalam catatan berjudul Romanticisme yang dimuat pada Encyclopedia of Philosophy (1972), menjelaskan ada beberapa ciri implikasi politik dari kajian orientalisme selama ini.
Sikap orientalisme yang negatif memandang Timur akan mengakibatkan bukan saja ketegangan masa silam antara Islam dan Yahudi, namun juga aroma kental konflik Islam dalam Perang Salib. Blunder ini setidaknya menurut Briton akan menekankan pada dua aspek berupa sikap kesewenang-wenangan sekaligus sikap konservatif.
Dengan menggambarkan Islam dalam imej negatif, para orientalis mengharapkan bahwa kelak akan timbul keraguan umat Islam terhadap agamanya dan dengan begitu Barat akan masuk untuk semakin memperkokoh kedudukan agama mereka atas Islam.
Muhammad Al Bahiy, seperti dikutip oleh Mohammad Natsir Mahmudi dalam bukunya Orientalisme Al Qur’an di Mata Barat, mengemukakan dua motivasi para orientalisme yang terkait erat pada misi politis.
Pertama, tidak terlepas pada dominasi untuk memperkokoh Imperialisme Barat atas Negara-negara Islam. Kedua, memperkuat semangat perang salib dengan mengatasnamakan kajian Ilmiah dan kemanusiaan.
Sejalan dengan itu, Tibawi kemudian menyederhanakan persoalan itu semua dengan menyebut nama kepentingan imperialisme sebagai muara dari kajian orientalisme semata-mata agar kelak Islam tunduk pada dominasi Barat.
Dari Kongres 1911 Sampai Tuduhan Al Qur’an Bersandar Pada Apokrifa
Ada sederetan nama para orientalis yang sangat terkait pada misi zionisme. Mereka-mereka memiliki reputasi dalam melucuti ajaran Islam sehelai demi sehelai.
Nama Orientalis Yahudi yang terhubung dalam melakukan misi itu salah satunya diemban oleh Gustave Von Grunebaum (1909-1972). Ketika Nazi Jerman datang ke Austria di tahun 1938, ia pergi ke Amerika Serikat.
Di AS dia mendapatkan posisi di Institut Asia di New York di bawah Arthur Upham Paus. Pada tahun 1943, ia pergi ke Universitas California, dan menjadi profesor bahasa Arab pada tahun 1949. Selanjutnya pada tahun 1957, ia menjadi profesor Sejarah Timur Dekat.
Pada seluruh karangannya terlihat gejolak permusuhan terpampang nyata terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam, diantaranya ia pernah menulis:
1. Islam Abad Pertengahan, terbit pada tahun 1946. 2. Hari-hari Raya Muhammad, terbit tahun 1951. 3. Usaha-usaha menjelaskan Islam Modern, terbit pada tahun 1947. 4. Studi-studi tentang Sejarah Kebudayaan Isalm terbit tahun 1954, dan 5. Kesatuan dan Keberagamaan dalam Peradaban Islam terbit pada tahun 1955.
Selain itu ada nama Samuel Zwemmer. Tentu kita tidak lupa tokoh ini. Zwemer-lah yang menggebu-gebu mengatakan dalam Persidangan Misi Zionis di Jerusalem pada 1935 terkiat taktik melumpuhkan Islam. Ia berkata,
“Misi utama kita bukanlah menjadikan orang-orang Islam bertukar agama menjadi Kristian atau Yahudi, tetapi cukuplah dengan menjauhkan mereka dari Islam…Kita jadikan mereka sebagai generasi muda Islam yang jauh dari Islam, malas bekerja (untuk Islam), suka berfoya-foya, senang dengan segala kemaksiatan, memburu kenikmatan hidup dan orientasi hidupnya semata-mata untuk menuaskan hawa nafsunya…”.
Zwemmer terkenal sebagai orientalis yang senantiasa menancapkan permusuhannya terhadap Islam. Ia pernah terlibat dalam mendirikan majalah Al Islam Tahadda lil Aqidatain pada tahun 1908 yang tidak lain sebuah majalah corong zionisme dalam melemahkan Islam ini terbit pada awal-awal abad 20.
Zwemmer pula yang menerbitkan buku berjudul Al Islam. Buku ini berisikan makalah-makalahnya yang dipersiapkan untuk muktamar misionaris kedua tahun 1911 di Lucknow, India. Menariknya, setelah muktamar itu, semua peserta mendapat sebuah plak sebagai cenderamata.
Pada satu muka plak itu tertulis: "Kenang kenangan dari Lucknow tahun 1911 ". Pada muka sebelahnya pula tertulis: "Ya Tuhan! Dunia lslam bersujud kepada-Nya lima kali dalam sehari semalam penuh khusuk. Pandanglah orang-orang lslam itu dengan penuh kasih. llhamilah mereka berkat kedamaian Jesus Christ."
Akhirnya, untuk menghargai usaha-usaha Samuel Zwemmer, sampai-sampai warga Amerika mendirikan studi teologi dan persiapan menjadi misonaris dengan mengambil namanya.
Selain itu ada pula Abraham I. Katsch (1908-1998). Ia adalah direktur Institute of Hebrew Studies di Universitas New York. Ia juga terkenal gigih dalam mengkaji Islam. Selama berhari-hari ia sangat telaten dalam menelusuri sumber-sumber keIslaman. Ia juga memperdalam gramatika Qur’an mengingat bidangnya selama ini berada pada wilayah studi Bahasa Ibrani.
Hasil dari kegigihannya melunturkan dominasi keilmuan Islam, akhirnya membuahkan hasil. Ia menelurkan karya monumentalnya di bidang studi Islam lewat sebuah buku kontroversial berjudul ‘Judaisme and Koran’ (Yahudi dan Al Qur’an) yang terbit tahun 1943 di Dropise College of Hebrew.
Buku ini kemudian menjadi titik tolak permusuhannya terhadap Islam. Ia menyatakan persetujuannya terhadap thesis Abraham Geiger bahwa Al Qur’an tidak lain hanyalah hasil colongan dan curian dari Yahudi. Dengan tegas Katsch mengungkapkan,
"Muhammad, borrowed extensively from Jewish sources. He was fully aware of the Importance of the jewish religion and leaned heavly upon it. He used all sources, the bible, the Talmud, as well as the Apocrypha."
Katsch menyatakan alasan dibalik sikap Muhammad meniru kitab suci Yahudi didasari oleh sikap Muhammad sendiri yang tidak pernah menyatakan diri akan mendirikan sebuah agama baru.
Bagi Katsch, Muhammad tidak pernah berusaha membatalkan Perjanjian lama dan Baru melainkan hanya sekedar mengangkatnya dalam sebuah kitab suci baru bernama Al Qur’an. Kastch sendiri menyandarkan pendapatnya tidak lain pada dua surat dalam Al Qur’an yaitu surat Al Baqarah dan Ali Imran.
Katsch juga menuding bahwa Nabi Muhammad mengambil rujukan Kitab Apokrifa sebagai rujukan Al Qur’an. Jika ada yang belum kenal mengenai kitab ini, Apokrifa tidak lain sejumlah kitab suci yang tidak dimasukan dalam bibel Protestan karena asal-usulnya diyakini sudah tidak lagi asli. Kitab-kitab Apokrifa terutama sekali mencakup Kitab-Kitab Perjanjian Lama yang dimasukan dalam Alkitab Katolik Roma.
Dari upaya-upayanya melakukan dekonstruksi Islam, Katsch tercatat dalam melobi pemerintahan Uni Soviet untuk memperbanyak ribuan dokumen Yahudi yang sempat ditahan oleh fihak Uni Soviet selama perang dingin. (pz/bersambung)