Dialog yang Ditolak oleh Mahasiswa
Kedatangan PM Jepang dan juga ketua dari IGGI, Jan P. Pronk dianggap menyeret Indonesia ke keadaan yang lebih buruk. Modal asing yang mereka akan membuat negeri ini hanya mengalami ketergantungan dan tidak mau berusaha. Parahnya, negeri ini bisa kembali diperbudak oleh negara tersebut seperti masa sebelum Indonesia akhirnya merdeka.
Sebenarnya mahasiswa sudah diberi kesempatan untuk melakukan dialog dengan PM Jepang di tempat yang lebih nyaman. Namun, mahasiswa menolak dialog itu dan lebih menyarankan untuk melakukan dialog di jalanan. PM Jepang tentu tidak mau melakukannya karena masalah keamanan.
Kerusuhan yang Makan Banyak Korban Jiwa
Setelah melakukan demonstrasi dan penolakan dialog, sebuah kerusuhan yang cukup besar terjadi dengan sangat mengerikan. Ratusan mobil dibakar di jalanan hingga api berkobar di mana-mana. Toko di kawasan Senen dibakar hingga habis dan banyak perhiasan dijarah oleh oknum yang kemungkinan menyamar menjadi mahasiswa atau menjadi provokator.
Aksi yang menjadi rusuh hingga akhirnya disebut menjadi malapetaka ini juga memakan korban jiwa. Setidaknya 11 orang meninggal dunia dengan cara yang mengerikan. Kala itu, Jakarta benar-benar jadi mencekam sehingga polisi bertindak cepat dengan menangkap orang-orang yang dianggap sebagai dalang dalam aksi yang berakhir mengerikan ini.
Pengadilan Kasus Malari yang Syarat Kejanggalan
Setelah kerusuhan yang sangat mengerikan membumihanguskan Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974, beberapa pentolan mahasiswa ditangkap. Mereka yang dituduh menjadi otak peristiwa nahas itu akhirnya dijatuhi hukuman enam tahun karena dianggap melakukan tindakan subversi kepada negara. Hariman Siregar yang kala itu jadi Ketua Dewan Mahasiswa UI harus meringkuk di penjara.
Hariman dianggap memelopori tindakan mengerikan itu meski dia menampiknya. Aksi yang menjadi brutal itu di luar kuasa dari kelompok mahasiswa. Ada kemungkinan aksi itu ditunggangi kepentingan tertentu sehingga berakhir dengan sangat mengerikan. Bahkan memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Plus kerusakan yang ditimbulkan bisa mencapai miliaran rupiah, kala itu.
Semoga dengan hadirnya kisah Malari dan kisah Kerusuhan 1998 kita semua bisa belajar untuk lebih bijak menyikapi masalah. Menelaah masalah untuk tahu benar dan salahnya lebih baik ketimbang bergerak di garda depan namun bertindak dengan anarki. (kl/sumber)