Saya mau memberikan saran kepada para buzzer politik itu. Jika tujuannya untuk berkomunikasi dengan masyarakat, maka ubahlah pola komunikasi yang diterapkan. Gunakan pendekatan public relation. Pakai formula humanis. Berbicara sebagai humas pemerintah dengan narasi afirmatif. Esensi dan filosofi platform digital ini, hadir sebagai saluran komunikasi untuk mengirim informasi jernih. Informasi Tanpa distorsi. Jangan dibolak-balik.
Kecuali memang plotnya sudah dipesan pengguna jasa. Bertujuan membangun atmosfer peperangan. Ya, itu pilihan. Yang pasti, kita sama-sama tahu. Banyak bisnis yang bergulir jika terjadi perang. Misalnya, di balik perang melawan terorisme di Timur Tengah, ada agenda perburuan minyak dan bisnis logistik perang. Termasuk bisnis senjata oleh korporasi global.
Di balik konflik sektarian pengusiran Rohingnya di Myanmar, ada aktor perusahaan minyak multinasional China (CNPC) yang berburu minyak di Rakhine. Maka dalam perang-perangan ala buzzer dan influencer binaan pemerintah, tentu juga ada agenda yang diemban. Ada pihak-pihak yang diuntungkan. Setidak-tidaknya, jadi ajang panen bagi bisnis buzzer.
Maka jangan kebakaran jenggot, jika sepak terjang anda, para buzzer disoroti. Bahkan dikuliti hingga ke jeroan. Seperti investigasi majalah Tempo. Hal itu bagian dari upaya keterbukaan informasi publik. Pertangunggjawaban penggunaan pajak rakyat. APBN yang dipakai membayai aktivitas buzzer. Setiap rupiah APBN harus dipertanggunjawabkan secara konstitusional.
Karena anda berperang dan melontarkan peluru komunikasi ke publik pakai APBN. Maka rakyat pasti selalu monitor. Bahkan melawan lebih ganas jika diusik Pahami itu.
*) Penulis: Jusman Dalle (FNN), Direktur Eksekutif Tali Foundation & Praktisi Ekonomi Digital.