Keempat, karena produk politik yang ditawarkan memang tidak laku. Daya saing dan mutunya rendah, dan amatiran. Bisa juga kelas odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Produk politiknya adalah sosok ide-idenya politisi kacangan, yang menggambarkan kebijakan politik dari pemerintah.
Kelima, ini alasan yang agak rasional. Menggunakan buzzer dan influencer lebih efektif dan efisien daripada menggunakan media maisntream. Bandingkan dengan beriklan di TV misalnya. Video berdurasi 10 detik harus dibayar ratusan juta hingga miliaran rupiah. tergantung frekuensi penayangan. Itu juga belum tentu bisa mempengaruhi audiens.
Namun dengan modal di bawah 100 juta, seorang politisi atau satu institusi pemerintah dapat memperoleh publisitas luas dan terukur dari seorang buzzer dan influencer. Makanya saat membaca laporan ICW bahwa pemerintah mengeluarkan Rp. 90 miliar untuk publisitas digital melalui influencer dan buzzer, saya malah berpikir, itu kok murah banget?. Apalagi budget Rp. 90 miliar tersebut dikeluarkan sejak tahun 2014.
Lalu kenapa kita marah? Kenapa publik antipati ketika pemerintah pakai buzzer dan influencer? Meski cost Rp. 90 miliar itu terbilang murah untuk sebuah program komunikasi selama enam tahun.
Kemarahan dan sinisme publik, bukan soal besaran APBN yang dikeluarkan. Tteapi akibat dari perilaku dan ulah para buzzer tersebut. Propaganda mereka memecah belah masyarakat. Manipulasi informasi dan penggiringan opini yang dilakukan, berakibat buruk bagi kepentingan bangsa.
Bayangkan, pelemahan KPK diglorifikasi sebagai penguatan sistem presidensial. Eksploitasi pekerja oleh korporasi dan perusakan lingkungan digiring seolah menciptakan lapangan kerja. Dasar, argumentasi berakal pendek, picisan dan kacangan. Maka buzzer politik ini lebih mirip pasukan perang yang mencari musuh, ketimbang menjalankan fungsi humas yang mestinya menjadi diplomat. Komunikator di garis depan, seharusnya bersikap ramah kepada audiens.