Tan Malaka kemudian menjelaskan bagaimana sikap Lenin terhadap Islam digunakan Belanda menutup peluang kerja sama dengan gerakan Islam dan menimbulkan perpecahan di Sarekat Islam di mana Tan Malaka sempat menjadi anggota. “Mereka bilang, ‘lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan perpecahan, mereka ingin menghancurkan agamamu!’. Itu terlalu berlebihan bagi seorang petani Muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tidak akan! Ini adalah cara seorang Muslim jelata berpikir. Para propagandis dari agen-agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasi ini dengan sangat baik. Jadi kita pecah,” ujar Tan Malaka.
Tan Malaka memaparkan, kekhalifahan pada masa lalu memang memiliki makna historis dan berarti bahwa Islam harus menaklukkan seluruh dunia di bawah satu khalifah. Meski begitu, konsep itu melemah sekitar 400 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad, saat umat Islam terpisah menjadi tiga kerajaan besar yang berpusat di Andalusia, Baghdad, dan Kairo.
Konsep kekhalifahan atau Pan-Islamisme terkini, kata Tan Malaka, “berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdekaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Italia. Oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas,” ujarnya.
Dalam pidato itu, Tan Malaka juga mengingatkan para pendengar bahwa di hadapan Tuhan, ia tetap seorang Muslim. Pada akhir pidato, dalam sebuah gestur berani, Tan Malaka secara tegas mempertanyakan kebijakan Lenin melawan Pan-Islamisme. “Sebab itu, saya tanyakan sekali lagi. Bukankah kita harus mendukung Pan-Islamisme dalam hal ini (melawan imperialisme)!?”.
Pada akhirnya, tentu saja, Tan Malaka jadi orang kalah. Ia yang mencoba terus menjalin hubungan dengan Sarekat Islam, akhirnya tersingkir dari gerakan Komunis Internasional pada 1926. Saat itu, Tan Malaka keberatan dengan Joseph Stallin, penerus Lenin yang sangat kental kebijakan anti-Islamnya.
Sementara ketakutan Lenin terhadap Pan-Islamisme terus lestari hingga saat ini. Ia sikap yang menghinggapi berbagai pemerintahan pada spektrum ideologi yang beragam. Ketakutan yang mengabaikan niatan semula gerakan Pan-Islamisme, yakni sebagai gerakan perlawanan terhadap kolonialisme, imperialisme, dan ketakadilan yang dialami umat Islam di mana saja. (*)
Penulis: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika