Sejak itu, secara praktis tak ada lagi pemerintahan Islam yang benar-benar terpadu. Kekhalifahan Utsmaniyah (abad ke-14 hingga abad ke-20) juga membayangkan dirinya sebagai pemerintahan pusat Islam, meski faktanya tak demikian.
Nah, soal Pan-Islamisme dan gerakan khilafah modern adalah persoalan yang berbeda dengan kekhalifahan awal tersebut. Dua pemikir penting gerakan itu, Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani hidup pada puncak kolonialisme Eropa di wilayah-wilayah mayoritas Islam pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Keterpurukan umat dibandingkan ekspansi kolonial jadi dasar al-Afghani menilai perlu dibentuknya sebuah imperium Islam terpadu dengan nilai-nilai Islam. Setelah mereka, dinamika penetrasi asing di “Darul Islam” dan munculnya ide khilafah jadi pola yang berulang.
Di Indonesia, menurut jurnalis senior Republika Alwi Shahab, semangat Pan-Islamisme itu secara tersirat sudah terbentuk seiring pendirian Jamiatul Khair, lembaga pendidikan yang digagas komunitas Arab di Indonesia pada 1901. Menurut Abah Alwi, Jamiatul Khair punya korespondensi aktif dengan gerakan-gerakan Pan-Islamisme di Timur Tengah. Para alumni Jamiatul Khair ini juga yang kemudian membawa gagasan Pan-Islamisme ke Sarekat Islam yang berdiri pada 1912.
Pada akhir dekade kedua abad ke-20, gerakan Pan-Islamisme ini kian kencang. Para pemikir Islam di berbagai negara serentak mengkampanyekan kebangkitan Islam secara terpadu melawan dominasi Barat. Tepat pada saat itu pandangan Lenin terhadap Islam, khususnya Pan-Islamisme yang merupakan akar dari gerakan khilafah, berubah. Agaknya, Lenin gerah karena internasionalisme Pan-Islamisme akan berhadap-hadapan dengan internasionalisme yang juga diperjuangkan komunisme.
Pada 5 Juni 1920, dalam “Tesis tentang Pertanyaan Nasional dan Kolonial” yangvia sampaikan di Kongres Kedua Komunis Internasional (Komintern), Lenin menegaskan perlawanannya. “Semua partai komunis harus melawan Pan-Islamisme dan tren-tren serupa yang berupaya menggabungkan perjuangan kemerdekaan melawa imperialisme Eropa dan Amerika,” tulis Lenin.
Sebagai bagian propagandanya, Lenin menilai gerakan Pan-Islamisme semata upaya menguatkan posisi para khan, pemilik tanah, mullah, dan sebagainya. Klaim ini janggal karena sedari mula, baik Jamaluddin al-Afghani maupun Muhammad Abduh membayangkan kesatuan politik Islam sedunia yang demokratis.
Sikap Lenin terhadap Pan-Islamisme yang kemudian didukung aparatus partai ini bukannya tanpa perlawanan. Pada Kongres Keempat Komunis Internasional pada 12 November 1922, ada sebuah sanggahan sengit terhadap kebijakan Lenin tersebut. Sanggahan itu datang dari seorang pemuda Minangkabau bernama Tan Malaka yang baru setahun menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu, nampak dari notulen pidato, sanggahan Tan Malaka coba dihentikan moderator. “Saya datang dari Hindia Belanda, empat puluh hari perjalanan!” balas Tan Malaka disambut riuh tepuk tangan peserta kongres.