Pernyataan itu dikemukakan Peter Koenig, analis ekonomi dan geopolitik. Kepakarannya di bidang sumber daya air dan lingkungan menjadikannya pernah bekerja selama lebih dari 30 tahun bersama Bank Dunia (WB) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di seluruh dunia.
Hebatnya, sebagian besar kampanye vaksinasi ini dilaksanakan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari anak-anak, orang tua, wali atau guru, atau dengan izin-informasi, dari otoritas pemerintah masing-masing. Akhirnya, The Gates Foundation pun digugat oleh negara-negara seperti Kenya, India, Filipina – dan banyak lagi.
Pernyataan Koenig sedikit banyak bisa dikaitkan dengan pandangan Dr. Carrie Madej – dalam videonya berdurasi 21 menit. (17 Agustus 2020) tentang “Transhumanisme – “Manusia 2.0”? – A Wakeup Call to the World (Panggilan Bangun untuk Dunia), Nanoteknologi ditanamkan ke dalam sel Anda – dan DNA manusia yang dimodifikasi secara genetik.
Untuk mengetahui sejumlah peristiwa terkait agenda Gates dalm ambisinya tersebut, lihat misalnya pernyataan Gates pada sebuah acara TedTalk tahun 2010, di California Selatan, yang berjudul “Innovating to Zero”. Di dalamnya ia berkata dengan jelas, “Jika kita melakukan pekerjaan vaksinasi yang benar-benar baik, kita dapat mengurangi populasi dunia sebesar 10% hingga 15%”.
Presentasi Gates tersebut bertepatan dengan peluncuran Rockefeller Report 2010 yang terkenal yang merencanakan dan meramalkan apa yang disebut “Lockstep Scenario” di mana kita – umat manusia dari 193 negara – berdiri berbaris, dan bersiap untuk menerima perintah.
Di bawah “Skenario Lockstep” ini, dunia kehilangan ribuan, jika bukan jutaan nyawa – bukan karena virus covid-19, tetapi karena dampak penutupan ekonomi global, rekayasa sosial, dan tirani yang diberlakukan di dunia, di mana 193 negara (semua negara anggota PBB) sulit untuk terhindar dari “sistem.”
Anda juga dapat menonton video this 4 min. tentang Bill Gates Briefing to CIA – How the Vaccine will Modify Behavior. Sudah 15 tahun yang lalu agenda jahat sedang dipersiapkan.
Ya, istilah yang dipakai dalam “permainan” tersebut adalah ketakutan. Ia seolah menjadi mantra magis yang melampaui “bobot” ketakutan akibat Covid-19. Genderang permainan berhasil ditabuh dengan diiringi musik yang menenangkan “pikiran” banyak negara di dunia. Sebaliknya mereka larut dalam musik “ketakutan” dengan ikut menari-nari.
Hal itu bisa kita lihat dari tindakan penerapan kebijakan otoritas berwenang melalui kebijakan lockdown (penguncian) yang mengakibatkan kehancuran ekonomi dunia, jutaan mata pencaharian hilang, korban kelaparan yang tak terhitung jumlahnya, kemiskinan ekstrim, putus asa, bunuh diri – dan takut akan apa yang masih akan datang – tidak ada akhir yang terlihat. Bahkan tidak satu pun, hingga tulisan ini dimuat, yang berani memastikan kapan “drama” ini akan selesai. Apakah menunggu para “penari” lelah dengan sendirinya hingga terjatuh, tidak sadarkan diri?
Saatnya sang nahkoda di negeri ini punya nyali dan keberanian memutar haluan kapalnya demi kelangsungan hidup para penumpangnya, yang sebagian besar adalah rakyat kecil. Mereka saat ini menjalani hidup yang serba sulit, karena sebagian juga harus menerima PHK, atau kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan, terutama di pedesaan atau pedalaman, mereka sudah menjalani hidup seperi biasa sebagaimana sebelum Covid-19. Namun kenyataan lain berbeda, saat ini, mereka tidak semudah mendapatkan pekerjaan seperti dulu. Mereka tidak takut Covid-19. Sebaliknya mereka lebih takut tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.