Isu terorisme di Indonesia seperti lakon sinetron yang tidak pernah usai. Tergantung si sutradara dan sponsor, kapan dan ke arah mana cerita akan bersambung.
Jika dirunut beberapa kejadian terorisme yang terjadi belakangan ini, nyaris selalu berhubungan dengan sebuah peristiwa besar yang bernuansa politik dan hukum yang sedang menyedot perhatian publik.
Seperti yang terjadi pada Juli 2009. Di saat publik sedang menyorot dugaan kecurangan pemilu, tiba-tiba bom meledak di hotel langganan teroris, JW Marriott. Dan saat itu juga, publik pun seperti dipaksa untuk beralih ke isu baru, terorisme.
Begitu pun ketika publik sedang asyik mencermati hebohnya kasus kriminalisasi pimpinan KPK, Bibit Chandra dengan terbongkarnya rekaman percakapan Anggodo, lakon terorisme kembali bermain: tempat pelatihan pelaku terorisme dilibas di kawasan Aceh. Sejumlah senjata otomatis ditemukan dan beberapa terorisme tertembak karena melakukan perlawanan.
Menariknya, seorang pelatih yang saat ini sudah divonis hukuman, ternyata anggota Brimob. Dan yang lebih menghebohkan lagi, pelatihan lanjutan setelah di Aceh adalah di markas satuan tempur polisi, Mako Brimob Depok. Bahkan, senjata mereka pun disuplai dari sana.
Begitu pun ketika Gayus sedang menjalani persidangan selama Juli hingga akhir 2010, lakon terorisme kerap menyelingi ekspos media. Puncaknya adalah ketika pada bulan Agustus 2010, Abu Bakar Baasir dan rombongan yang baru saja menghadiri ceramah di sebuah masjid, ditangkap.
Tim Pembela Muslim pun saat itu mengungkapkan beberapa kejanggalan yang menurut mereka sebagai sebuah rekayasa. Di antaranya, dua orang yang ditangkap polisi sebagai teroris dan akhirnya memberikan kesaksian keterlibatan Abu Bakar Baasir hanya memberikan keterangan tertulis. Bahkan, mereka tidak pernah bertemu langsung dengan Abu Bakar Baasir yang dituduh gembong pelatih teroris di Aceh.
Dua hari lalu, tepatnya di daerah Klaten dan Sukoharjo, tujuh remaja yang masih duduk di bangka SMK ditangkap. Mereka dituduh bertanggung jawab atas dugaan tindak terorisme. Bersama penangkapan itu, ditemukan juga puluhan bom rakitan. Mereka pun dihubung-hubungkan dengan rencana pemboman gereja dan tempat-tempat lain di Jawa Tengah.
Dua hari lalu itu adalah tepat ketika Kapolri harus memberikan jawaban atas gugatan publik yang saat itu diwakili anggota DPR: siapa saja jaringan mafia pajak Gayus?
Walaupun Kemenkeu sudah menyerahkan 151 data perusahaan yang diduga terkait kasus Gayus kepada Polri, tapi prosesnya belum juga jelas. Padahal, menurut Police Watch, Johnson Panjaitan di sebuah media, data itu sudah diserahkan ke Polri sejak Agustus tahun lalu, atau hampir bertepatan dengan peristiwa penangkapan Abu Bakar Baasir.
Dan yang lebih menarik lagi, apa yang diungkap salah seorang pengacara Gayus, Pia Akbar Nasution dalam sebuah kesempatan. Menurutnya, Gayus terakhir diperiksa polisi pada Agustus 2010. Dan setelah itu, tidak ada pemeriksaan lanjutan.
Menurut pengamat kepolisian, Prof Bambang Widodo Umar dalam sebuah kesempatan, perlunya reformasi kepolisian agar tidak berada pada garis komando eksekutif atau presiden.
Hal ini dimaksudkan agar Polri benar-benar independen dan tidak dicampuri kepentingan politik kekuasaan. Selain itu, masih menurut pakar yang juga mantan polisi ini, perlunya ada lembaga independen yang punya wewenang mengawasi dan menghukum polisi, terutama para pejabatnya yang menyimpang.
Dengan kata lain, Prof Bambang ingin mengatakan bahwa pembenahan kepolisian tidak cukup dengan mengganti Kapolrinya saja. Tapi harus dengan pendekatan yang menyeluruh.
Pertanyaannya, masih adakah lakon susulan dari ‘sinetron’ terorisme setelah ini? Sepertinya, itu tergantung pada kehebohan isu publik yang sedang menarik. mnh