Oleh Marwan Batubara, Indonesian Resources Studies, IRESS
Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam antara pemerintah dengan Total E&P Indonesie (Total SA, Prancis 50% dan Inpex Corporation Jepang, 50%) akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2017. Karena potensi kandungan gas yang sangat besar (sekitar 13 trillion cubic feet, TCF), Total E&P telah mengajukan perpanjangan kontrak kepada pemerintah pada tahun 2007 dan kembali diajukan pada tahun 2009.
Pemerintah memang belum memberikan jawaban atau persetujuan perpanjangan, namun bukan berarti permintaan tersebut ditolak. Di sisi lain, jika kontrak tidak diperpanjang, maka blok tersebut dapat dikelola Pertamina. Prospek pengelolaan blok Mahakam ke depan akan dibahas dalam tulisan ini.
Dengan kandungan sekitar 13 TCF dan tingkat produksi rata-rata 26 miliar kaki kubik per hari (mmscfd), operasi blok Mahakam masih dapat berlangsung sekitar 20 tahun ke depan. Hal ini lebih lama sekitar 13 tahun dibanding masa kontrak yang akan berakhir pada tahun 2017.
Jika harga rata-rata minyak selama periode produksi diasumsikan (moderat) sebesar US$ 80/barel dan 1 barel oil equivalent, boe = 5,487 cubic feet (CF), maka potensi keseluruhan blok adalah sekitar US$ 190 miliar atau Rp 1800 triliun. Besarnya potensi pendapatan inilah yang melatarbelakangi mengapa Total E&P begitu bernafsu untuk memperoleh ijin perpanjangan. Untuk mempengaruhi sikap pemerintah, Total E&P telah mengambil berbagai langkah seperti menambah investasi, membuat komitmen kouta produksi dan kontrak gas untuk konsumsi domestik, dsb.
Dalam merespon permohonan Total E&P, pada tahun 2009 Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyatakan siap memperpanjang kontrak dengan syarat pola bagi hasil ditingkatkan (untuk keuntungan pemerintah) dan blok tersebut harus dikelola bersama dengan wakil pemerintah.
Seperti diketahui, pola bagi hasil yang berlaku pada KKS adalah 70% (pemerintah) berbanding 30% (kontraktor). Sedangkan keinginan pemerintah memiliki saham akan diwujudkan melalui pembelian sebagian saham Total E&P oleh Pertamina. Sejauh ini belum ada tanda-tanda kedua hal pokok tersebut akan segera disepakati.
Seriuskah Pemerintah?
Kita berharap pemerintah bersikap konsisten dan tegas dengan sikap yang telah dinyatakan oleh Purnomo di atas. Malah dengan telah bergantinya pimpinan D-ESDM, sikap tersebut diharapkan diperbaiki dan bisa lebih baik dari sebelumnya. Namun perlu disadari bahwa mengingat strategis dan pentingnya masalah blok Mahakam ini, keputusan yang diambil jelas akan melibatkan Presiden.
Oleh sebab itu, meskipun menteri ESDM telah berganti, Presiden-lah yang akan menentukan. Kita berharap untuk blok Mahakam ini keputusan pemerintah atau Presiden, bisa independen dan berbeda dengan yang terjadi pada blok Cepu, tambang Newmont Nusa Tenggara, blok Semai V, dsb., yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat.
Selama ini kita menyatat bahwa di hadapan publik pemerintah sering meminta direksi berbagai BUMN untuk memiliki atau meningkatkan pemilikan saham pada perusahaan-perusahaan PMA, baik di sektor migas maupun di sektor minerba. Dengan sikap ini ingin digambarkan bahwa pemerintah konsisten dengan konstitusi pasal 33 dan mendukung penguasaan sumber daya alam oleh BUMN.
Namun dalam prakteknya sikap tersebut tidak diiringi dan didukung dengan berbagai kebijakan dan langkah implementatif yang dibutuhkan. Di belakang layar manajemen BUMN justru dibiarkan berjuang sendiri atau bahkan diperingatkan untuk bersikap pasif tanpa aksi, atau kalau tidak, sewaktu-waktu harus siap dilengserkan.
“Sandiwara” seperti ini dapat terjadi karena dominannya kepentingan oknum-oknum penguasa dan masih maraknya praktik KKN. Para direksi BUMN berperan tak lebih dari sekedar pion-pion yang tidak akan berani menentang keputusan oknum penguasa, meskipun keputusan tersebut merugikan negara.
Kami menyatat cukup banyak direksi BUMN yang berkemampuan dan profesional yang tidak berani berinisiatif atau berbuat yang terbaik bagi perusahaan karena takut kepada atasan atau telah diintervensi oknum-oknum eksekutif. Sandiwara ini biasanya juga diikuti dengan proses pengambilan keputusan yang tertutup dan bertentangan dengan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG).
Kali ini, untuk blok Mahakam, kita harapkan sandiwara tersebut tidak terjadi. Jika pemerintah menyatakan ingin merubah pola bagi hasil dan memiliki saham Total E&P, maka keinginan tersebut sangat kita hargai dan harus didukung. Namun pernyataan tersebut harus diwujudkan dengan berbagai kebijakan dan program pendukung yang nyata dan konkrit.
Pemerintah harus memulai dengan menyusun rencana, membentuk tim negosiasi lintas departemen dan menjalankan proses tersebut secara transparan dan mengikuti prinsip GCG. Di lain pihak, kita berharap DPR pun ikut mendukung dan mengawasi jalannya negosiasi tanpa terpengaruh godaan berbagai pihak, termasuk pihak kontraktor.
Peran Pemerintah terhadap Pertamina
Kita menyambut baik komitmen Pertamina yang telah siap mengakuisisi sebagian (sekitar 15%-25%) saham Total E&P sejak sekarang. Namun selain itu, kita ingin agar Pertamina juga siap dan harus menjadi operator (pemegang saham mayoritas) blok Mahakam sejak tahun 2017. Hal ini bukan mengada-ada atau tanpa alasan, karena posisi sebagai operator ini memang sesuai dengan amanat konstitusi dan kepentingan kita sebagai bangsa.
Pertamina harus berubah menjadi tuan di negara sendiri dan menjelma menjadi penghasil lebih dari 50% produksi migas nasional, dibanding hanya sekitar 13% pada saat ini. Untuk itulah peran pemerintah menjadi sangat penting sebagai pendukung dan bagian dari national oil company (NOC).
Kita dan banyak negara maju di dunia belakangan ini belajar dan terobsesi untuk dapat maju seperti dialami oleh China. Namun perlu dicatat bahwa kemajuan tersebut terutama ditopang oleh besarnya peran dan kemajuan BUMN-BUMN China di segala sektor, yang mendapat dukungan penuh pemerintah.
Dengan sikap pemerintah yang demikian, maka tidak mengherankan kalau China telah menempatkan sekitar 37 BUMN-nya dalam daftar Fortune 500. Indonesia belum mampu membesarkan satu BUMN-pun untuk masuk dalam daftar Fortune 500 (kecuali Fortune 1000), padahal langkah reformasi BUMN di kedua negara dimulai pada waktu yang hampir bersamaan.
Beberapa BUMN China yang masuk dalam Fortune 500 bergerak di bidang migas, seperti CNOOC atau PetroChina. Dukungan pemerintah China kepada NOC (BUMN migas-nya) ini demikian besar dan kuat sehingga tidak ada wilayah potensial migas di muka bumi yang luput dari pantauan atau akuisisinya jika memungkinkan. Bahkan NOC China telah mengakuisisi sejumlah perusahaan migas milik Amerika, Kanada, Eropa dan Asia.
Agresifitas NOC China sejak 10 tahun terakhir tergambar pada penguasaan mereka pada blok-blok migas di Australia, Kanada, Ekuador, Nigeria, Sudan, Angola, Siria, Kazaktan dan di sejumlah tempat di Indonesia….
Saat ini, sekitar 77% cadangan migas di seluruh dunia dikuasai oleh NOCs, dibanding 23% oleh swasta. Disamping itu ada sejumlah NOCs yang cadangan migasnya justru lebih besar dibanding cadangan migas negaranya. NOCs China misalnya mempunyai cadangan sekitar 18 miliar barel dibanding cadangan nasional sekitar 17 miliar barel.
Petronas, NOC Malaysia, mempunyai cadangan di seluruh dunia sekitar 7 miliar barel, padahal negaranya hanya mempunyai reserve sekitar 3,1 miliar barel. Pertamina? Oh, NOC Indonesia ini hanya memiliki cadangan sekitar 2,6 miliar barel, dibanding cadangan terbukti nasional sekitar 8 miliar barel… Padahal Pertamina telah beroperasi sejak sekitar 40 tahun yang lalu!
Ke depan, NOCs akan terus merambah ladang-ladang migas di seluruh dunia karena semakin strategis dan langkanya cadangan, ditengah permintaan yang terus meningkat. Namun ternyata Indonesia merupakan salah satu negara tujuan tempat berlangsungnya akuisisi dan penguasaan cadangan oleh NOCs asing.
Sedangkan Pertamina sebagai NOC Indonesia dibiarkan bertarung sendiri tanpa dukungan pemerintah sehingga tetap kerdil dibanding raksasa migas dari Amerika dan China, bahkan dibanding Petronas dari Malaysia. Kondisi ini terjadi, terutama sejak diberlakukannya UU Migas No.22/2001. Hal ini harus diakhiri dan Pertamina harus didukung dan diberi hak istimewa.
Berakhirnya masa kontrak (KPS) sekitar 24 blok migas dalam 8 tahun ke depan merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk memberdayakan dan memperbesar Pertamina. KPS-KPS dimaksud antara lain mencakup blok-blok Bawean, Pase, West Madura, Tuban, Siak, Jambi Merang, East Kalimantan, Mahakam, Sumatra Utara, dll. Sebagai NOC, Pertamina seharusnya secara otomatis mendapat kesempatan untuk menguasai blok-blok tersebut. Dalam hal ini, blok Mahakam merupakan blok potensial yang harus mendapat prioritas untuk dikuasai.
Kita sebagai bangsa seharusnya sangat berkepentingan untuk memiliki NOC yang besar, kuat dan menjadi dominan di negara sendiri. Selama ini, Pertamina telah terpinggirkan terutama akibat kebijakan yang salah, prilaku KKN dan kuatnya pengaruh asing. Disamping itu, sebagaimana umumnya BUMN di Indonesia, Pertamina juga tak lepas dari intervensi oknum pemegang kekuasaan, selain prilaku KKN oknum manajemennya sendiri. Dengan menguasai blok Mahakam sebagai penghasil gas terbesar di Indonesia, serta blok-blok lain yang potensial, Pertamina akan dominan di dalam negeri, tumbuh menjadi global player dan mampu mengamankan kebutuhan energi nasional.
Penutup
Kemajuan Pertamina dan ketahanan energi nasional sangat tergantung kepada sikap dan komitmen pemerintah apakah bersedia dan konsisten untuk memberi dukungan, memberi berbagai hak istimewa dan menerbitkan berbagai aturan yang konsisten dengan konstitusi.
Kita berharap pemerintah tidak lagi bersandiwara dengan mengatakan akan mendorong dan memberi kesempatan kepada BUMN untuk menguasai saham atau blok tertentu, namun yang terjadi di belakang adalah sebaliknya. Pemerintah dan Pertamina harus menjalankan seluruh proses negosiasi secara transparan dan akuntabel mengikuti GCG agar terbebas dari upaya oknum-oknum asing yang tidak akan segan-segan menyuap siapapun, termasuk pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif.
Di sisi lain, kita juga sangat mengharapkan peran DPR untuk mengeluarkan berbagai aturan yang relevan dan melakukan pengawasan terhadap proses yang berlangsung. Peran masyarakat untuk turut mengawasi dan melakukan advokasi, seperti halnya maksud penulisan artikel ini, sangat diharapkan.
Kita berharap suatu saat Pertamina bisa menjadi BUMN Indonesia pertama yang masuk dalam Fortune 500 karena telah mendapat dukungan penuh dari pemerintahan SBY/Indonesia dalam setiap kesempatan bisnis, sebagiaman yang telah dilakukan pemerintah China kapada BUMN-nya. Marwan Batubara.[]