“Bangsa Indonesia saat ini menghadapi ancaman serius terkait dengan terorisme, kekerasan horizontal, dan radikalisasi yang terus terjadi di sejumlah tempat. Jika tak ditanggulangi secara serius, kondisi ini bisa berdampak pada harmoni kehidupan bangsa ke depan.” [1]
Ucapan ini penulis ambil ketika SBY berhadapan dengan seluruh Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, para Gubernur, dan walikota seluruh Indonesia saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta, hari kamis kemarin. Ucapan ini tentu tidak lain adalah respon dari pemerintah terkait isu terorisme yang kini marak. Oleh karenanya dalam kesempatan itu pula, Presiden SBY juga berharap kepada pemuka agama untuk berperan aktif dalam mencegah gerakan yang menodai dan merusak ajaran agama.
Namun sayangnya, dalam kesempatan itu, SBY tidak merinci lebih jauh definisi sebenarnya dari radikalisme. Sebab, kita sekarang berada pada suatu masa, dimana kebenaran dan kekeliruan menjadi kabur. Istilah radikal dikonstruk sedemikian negatif dan kemudian dilekatkan kepada seluruh gerakan Islam yang memiliki visi pemurnian akidah, penegakkan syariat dan negara Islam, serta tidak lagi tersekat hanya pada organisasi sesat seperti NII KW IX saja. [2]
Walhasil, klaim-klaim radikal dan Islam seakan menjadi dua kutub yang tidak terpisahkan. Stigmatisasi Barat terhadap Timur menjadi genderang yang wajib didengarkan ketimbang umat Islam itu sendiri. Implikasinya, ajaran Islam menjadi redusi.
Maka itu ucapan radikal dari SBY disini perlu kirannya diluruskan dan menjadi tanda kutip bagi kita semua bahwa betulkah radikalisme identik dengan Islam?
Islam Radikal: Kerancuan Istilah
Setelah Samuel Huntington mengeluarkan tesis bahwa Islam akan menjadi musuh baru Barat setelah komunisme runtuh [3], semangat Perang Salib jilid II bagai kembali berkobar. Penelitian-penlitian tentang Islam berlangsung begitu pesat. Istilah Radikalisme menjadi hal lumrah untuk menyudutkan Islam.[4]
Tak tanggung-tanggung Al Zastrouw sampai menyatakan bahwa radikalisme adalah (pasti) gerakan yang menyatakan Islam adalah satu-satunya sumber penyelesaian atas berbagai problem kemanusiaan, dan hanya dengan gerakan itulah mereka bisa mempertahankan eksistensi dan martabat Islam. [5]
Prolematikanya adalah kata radikalisme disini pasti merujuk ke Islam dan cenderung meresahkan. Padahal dalam sejarahnya kata Radikalisme sama sekali tidak terkait akan misi Islam dan memang tidak lahir dari rahim Islam.
Paul Krassner dalam tulisannya "An impolite intervire with Mort Sahl", di majalah The Realist tahun 1963 menyatakan asal muasal istilah Radical digunakan pada abad ke-18 bagi para pendukung Gerakan Radikal. Istilah radikal kemudian menjadi istilah yang sangat umum semata-mata untuk merendahkan kelompok yang mendukung atau mencari reformasi politik, termasuk perubahan dramatis terhadap tatanan sosial.
Dalam sejarahnya, tujuan awal dari gerakan radikal adalah untuk meraih kebebasan dan melakukan reformasi besar-besaran dalam pemilu Inggris. Gejala ini kemudian bergeser ke Amerika dan Perancis yang kemudian diterjemahkan mereka lewat dengan nama revolusi (Baca: Revolusi Perancis dan Amerika).
Pada awalnya, kelompok radikal mengidentifikasikan dirinya sebagai pihak yang paling kiri dalam menentang basis politik kanan, baik itu kaum Orleanis dan Bonapartis di Perancis pada abad kesembilan belas. [6]
Dalam perkembangannya, radikalisme kemudian terserap dalam pengembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 baik di Inggris dan benua Eropa. Dan kemudian istilah Radikal ini justru datang untuk menunjukkan ideologi liberal yang progresif.
Oleh karenanya, di beberapa negara Istilah radikalisme adalah bagian dari liberalisme seperti terjadi di Swiss, Jerman, Bulgaria, Denmark, Italia, Spanyol dan Belanda, termasuk juga Argentina, Chile dan Paraguay. Pada Negara-negara tersebutlah kaum liberal sayap kiri justru mengusung ideologi radikal dengan berbagai nama.
Menariknya baik di benua Eropa maupun Amerika latin, radikalisme dikembangkan sebagai sebuah ideologi radikal sangat anti agama. Mereka mendukung liberalisme, bahkan sekularisme. Di Inggris, misalnya, para radikal bersatu dengan para liberal daripada Whig Party di dalam Liberal Party.
Di negara lain termasuk Bulgaria, Denmark, Spanyol, Belanda, Argentina dan Chile, para liberal bersayap kiri mengasas parti politik radikal mereka yang mempunyai pelbagai nama; di Switzerland dan di Jerman, parti itu diberi nama Freisinn.
Oleh karenanya menjadi aneh dan rancu, jika istilah radikal justru dikaitkan kepada Islam dan gerakan Islam. Karena Islam mengharuskan hambanya untuk taat kepada Allahuta’la. Sedangkan dalam sejarahnya, kaum radikal justru memisahkan antara Negara dan agama (baca: sekularisme) sebagai pilar kehidupan.
Islam menjadikan nilai dan tatanan kehidupan sebagai sumber yang tetap, yakni ajaraNya. Sedangkan radikalisme menjadikan relativitas sebagai prinsip dan tujuan.
Lalu kalau sudah begini: apakah tidak salah ketika mengatakan radikalisme bersumber dari ajaran Islam dan Islam itu radikal? (pz/bersambung)
Foto: Ilustrasi
Catatan Kaki
[1] Harian Kompas, Jangan Biarkan Radikalisme, Jum’at 29 April 2011.
[2] Setara Institute dalam penelitian yang berjudul “Radikalisme Agama di Jadebotabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan,” mencatat bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi memprihatinkan.
Tahun 2007, Setara mencatat terdapat 185 jenis tindakan dalam peristiwa 135 kebebasan beragama dan berkeyakinan. Penelitian yang diselenggarakan dari tahun 2007-2010 inipun menimbulkan polemik di kalngan umat Islam.
Tahun 2008, terdapat 367 tindakan di 265 peristiwa. Tahun 2009, masih dalam survey Setara, terdapat 291 tindakan untuk 200 peristiwa. Tahun 2010, tidak kurang 175 peristiwa. Dan uniknya, menurut data penelitian itu, nyaris semua pelanggaran, selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal.
[3] Melalui bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), Huntington mengarahkan Barat untuk memberikan perhatian khusus kepada Islam. Menurutnya, di antara berbagai peradaban besar yang masih eksis hingga kini hanyalah Islam yang berpotensi besar menggoncang peradaban Barat, sebagaimana dibuktikan dalam sejarah.
[4] Selain istilah radikalisme, Barat juga menyebut dengan fundamentalisme. Lihat William Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism And Nodernity, T.J. Press (Padstow)
Ltd, London, 1998, hlm.2.
Fundamentalisme juga berarti anti-pembaratan (westernisme). Lihat juga Fazlur rahman, Islam And Modernity, The University of Chicago Press, Chicago, 1982, hlm.136.
[5] Lihat Al-Zastrouw Ng, Gerakan Islam simbolik: Politik Kepentingan FPI, (Yogyakarta: LKiS, 2009) hlm. 4.
[6] Rezim Bonapartis adalah rezim yang sungguh otoriter. Mereka menjadikan rakyatnya sebagai konsumen. Pemerintah terkesan cuci tangan dalam mengurus warganya, sehingga tak jarang rakyat dalam rezim bonapartis menjadi korban ulah negara (state neglect) yang tak terurus.
Bagi rezim ini, kebijakan sosial hanya digunakan oleh kelompok elite untuk menjaga status quo. Kebijakan Bonapartis cenderung digunakan untuk terus mempertahankan dominasi negara terhadap rakyatnya.
Konsekuensinya, keadaan rakyat tak banyak berubah. Bahkan, cenderung kian memburuk, sengsara, dan menderita. Berbagai kebijakan yang dihasilkan rezim Bonapartis pun tidak memihak rakyatnya karena tidak didasarkan fakta dan realita, tetapi bagaimana tetap berkuasa.