Arab Saudi—negara Arab terbesar kedua—dengan kekuatan ekonomi terkaya di bidang minyak, saat ini tengah gemetar. Rakyat Arab Saudi, yang merupakan negara terbesar di kawasan Timur Tengah, tertidur karena takut kepada Sadr. 26 juta warga orang di kerajaan itu, dari timur ke barat, dan dari selatan ke utara, telah bergetar sejak pemimpin gerakan Sadr di Irak, Moqtada al-Sadr, mengancam akan menyerbu dan membakar negara mereka. Kebencian buta dan chauvinistik telah mencapai puncaknya.
Moqtada Al-Sadr tengah menjadi komoditas Syiah Iran sekarang ini. Ketika revolusi Timur Tengah meletus, Bahrain sejenak terlupakan.
Senin awal pekan ini, Al-Sadr mengancam akan menyerang dan membakar Arab Saudi jika Syiah Bahrain diganggu. Media membuat pernyataan-pernyataannya yang keterlaluan, lepas dari unsur penghargaan terhadap bangsa Arab: "Jika satu rambut di kepala Ayatullah Sheikh Ahmed Isa Qasim disentuh, kami akan masuk ke Arab Saudi dan membakar negara itu." Ini dikatakan untuk menanggapi pesan yang ditujukan oleh menteri kehakiman Bahrain yang menuduh Qasim sebagai penghasut sektarianisme dan merusak persatuan nasional di negaranya.
Saudi tentu tidak akan merespon dalam cara provokatif yang sama –yang sengaja digunakan oleh Al-Sadr, dan juga hampir semua penganut Syiah dalam pernyataan-pernyataannya—karena ia selalu mengatakan: "Kami akan mencabut janggut, memotong lidah, menghancurkan gigi, dan merobek hati Anda"—(Betul, seperti Ahmadinejad yang mengatakan hal-hal seperti itu kepada orang-orang Yahudi, entah sejak zaman-tahu-kapan, namun sampai saat ini tak pernah ada bukti).
Namun, rakyat Arab Saudi akan merespon dengan suara bulat (yakni kaum Sunni) dan berkata: “Silakan jika Anda bisa melakukan hal itu, sehingga Anda akan belajar hal baru mengenai fakta bahwa Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya tidak akan sedikitpun menurunkan dinding agar bisa melompat atau menyerang Iran, dan Anda akan menemukan orang-orang yang tidak bisa menoleransi seorang dengan penyakit"sindrom kakaktua" dan merusak kedaulatan sebuah negara.”
Sadr paham betul realitas situasi di Bahrain. Maka tidak heran jika Al-Sadr begitu berani mengecam penangkapan Qasim. Namun, Sadr melebihi batas kesusilaan. Selama ini Sadr selalu bersembunyi dengan kedok Islam-nya, namun jelas identitas Syiah-nya tak bisa diabaikan lewat pernyataan-pernyataannya yang begitu vulgar dalam membunuh orang Sunni Bahrain.
Al-Sadr mungkin berpikir bahwa negara-negara wilayah Teluk tidak tahu jejak rekamnya yang "gelap" dan bahwa ia melakukan pembunuhan massal terhadap kaum Sunni di Baghdad, di Diyala, dan provinsi-provinsi selatan Irak lainnnya, selain juga loyalitas pribadi Sadr kepada Iran daripada Irak—negara di mana ia tinggali.
Sebenarnya mudah untuk menakar Sadr. Cukup dengan satu pertanyaan sederhana: "Jika Anda adalah seorang Arab yang benar-benar peduli terhadap kepentingan Arab, mengapa Anda tidak peduli tentang orang-orang Arab Ahwaz, yang oleh Iran dihinakan? Jika Anda adalah seorang Arab, mengapa Anda tidak mengatakan apa-apa dalam hal status Sunni di Iran setelah mereka dicegah oleh pemerintah Iran untuk melakukan shalat Idul Fitri di beberapa daerah Teheran, dan setelah rumah-rumah mereka dikepung karena melakukan shalat ied bersama—hanya sepekan lalu?"
Jika Al-Sadr terus merugikan orang lain, jelas ia adalah seorang Arab yang "sakit." Ada pepatah Arab yang sangat terkenal: “Siapapun yang bermulut besar, maka dia akan jadi hinda-dina.” Jika selama ini Sadr merasa Syiahnya telah cukup kuat, akan ada waktu baginya sekarang ini bahwa ia tengah menunggu lubang kuburnya sendiri dengan dada dan tangannya. (sa/daralhayat