Hari itu tepat hari Kamis tanggal 26 Maret tahun 2009. Bertepatan juga dengan hari libur nasional. Biasanya, kalau hari libur seperti itu, kawasan Situ Gintung diramaikan dengan para pemancing. Mereka datang dari berbagai daerah di sekitar Jakarta bagian selatan yang beririsan langsung dengan kabupaten Tangerang.
Sekitar sepuluh meter dari tanggul bendungan Situ Gintung terhampar lapak-lapak pemancingan. Tiap lapak diberi tanda berupa angka agar para pemancing bisa teratur. Lokasi pemancingan bukan berada di situ atau danau kecilnya, tapi justru di luar situ. Lebih tepatnya, berada di bawah setu yang menyerupai cekungan besar. Lebar cekungan sekitar 50 meter dengan kedalaman 6 meter. Panjangnya hampir mengikuti sungai kecil yang mengalir di cekungan itu, melewati kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta dan bertemu dengan sungai pesanggrahan.
Di antara hamparan lapak-lapak pemancingan itulah berdiri sebuah masjid. Namanya, Masjid Jabalurrahmah. Lokasinya berada di tepian jalan seukuran dua mobil yang membelah cekungan dan areal pemancingan.
Masjid Jabalurrahmah tergolong masjid besar dan bagus untuk ukuran di kawasan daerah Situ Gintung. Ukuran masjid sekitar dua ratus meter persegi dengan bangunan dua lantai. Biasanya, lantai dasar digunakan untuk shalat berjamaah. Sekitar tiga ratus orang bisa muat di masjid ini.
Dilihat dari usia, masjid Jabalurrahmah tergolong baru. Dibangun sekitar bulan Nopember 2006, dan diresmikan bulan Mei 2007. Jadi, usianya baru sekitar dua setengah tahun. Pembangunan masjid ini dibiayai oleh sebuah Yayasan Islam yang memang tidak berlokasi di sekitar Situ Gintung. Mereka sengaja mewakafkan masjid ini sebagai sarana pembinaan Islam untuk para pendatang yang mengunjungi Situ Gintung, termasuk para pemancing yang jumlahnya bisa ratusan.
Yang menarik dari masjd ini adalah pada sosok pengurusnya. Mulai dari dewan imam masjid yang berjumlah empat orang, hingga muadzin dan marbot; semuanya berusia muda. Usia mereka rata-rata dua puluhan tahun. Wajah-wajah mereka pun lebih cocok dibilang mahasiswa daripada umumnya pengurus masjid. Hal ini wajar, karena kawasan Situ Gintung memang dikelilingi kampus Islam. Ada kampus Muhammadiyah, dan Universitas Islam Jakarta atau yang biasa disebut IAIN.
Para anak muda inilah yang sehari-hari mengurus jalannya kegiatan masjid Jabalurrahmah Situ Gintung. Di antara mereka ada Romli. Pemuda usia dua puluhan ini termasuk salah seorang dewan imam masjid yang bertugas mengimami shalat berjamaah di masjid Jabalurrahmah. Termasuk shalat Subuh yang bertepatan dengan jebolnya tanggul bendungan Situ Gintung.
Hari Kamis malam Jumat itu memang hari yang paling menegangkan untuk Romli dan pengurus masjid lain. Pasalnya, beberapa warga yang mengontrak di rumah yang berjarak hanya beberapa meter dari tanggul sudah menemukan beberapa retakan besar di dinding tanggul. Dan malam Jumat itu, retakan kian membesar. Dari perkiraan kasat mata, tanggul bisa bolong pada hari itu atau paling lambat esok hari. Walaupun cuma bolong, bagi warga sekitar dinding tanggul sudah merupakan musibah besar.
Karena kekhawatiran itulah, sekitar delapan keluarga sudah mengungsi ke masjid Jabalurrahmah sejak malam Jumat itu. Rata-rata keluarga berjumlah empat orang: suami, isteri, dan dua orang anak. Mereka sekali lagi mengira bahwa tanggul buatan kolonial Belanda ini cuma bolong, dan masjid Jabalurrahmah yang berjarak sekitar 50 meter dari tanggul adalah tempat yang aman untuk menetap sementara. Khususnya di malam hari.
Melihat kunjungan warga yang mengungsi, Romli dan beberapa pengurus masjid lain yang saat itu berjumlah lima orang ikut terbawa tegang. Pada jam 1 dinihari itu, Romli sekali-kali menunggu isyarat dari warga yang memang bergadang di depan tanggul sambil menjaga rumah yang mereka tinggalkan. Dan, Romli pun akhirnya tertidur di masjid.
Menjelang Subuh, semua pengurus sudah bersiap-siap untuk menunaikan shalat berjamaah. Mereka merasa lega karena kekhawatiran bolongnya tanggul pada malam itu ternyata tidak terjadi. Kelegaan itupun tercermin dari wajah-wajah para ibu dan anak-anak yang berada di masjid sejak malam.
Setelah waktu shalat masuk, muadzin pun mengumandangkan adzan. Suaranya mengalun mengisi rongga-rongga udara di kawasan Situ Gintung. Suara adzan Subuh pun seperti saling bersahut dari masjid satu dengan masjid yang lain di sekitar daerah Situ Gintung.
Hingga sampai muadzin melantunkan ‘Hayya ‘alash sholaaaah’. Tiba-tiba, seorang bapak yang memang sejak malam berjaga-jaga di dinding tanggul berlari menuju masjid. Begitu paniknya, sang bapak langsung mengapit tubuh puterinya di masjid untuk dibawa keluar menuju daerah yang lebih tinggi. Sambil berlari-lari itulah, ia berteriak, “Air…! Air…! Cepat lari…, lari!”
Sontak, teriakan dan tindakan bapak ini langsung membuyarkan ketenangan masjid Jabalurrahmah. Semua warga yang mengungsi di masjid langsung berhamburan keluar menuju tempat yang lebih tinggi mengikuti gerak sang bapak yang berlari membawa anaknya. Termasuk pengurus masjid.
Tinggallah sang muadzin terpaku pada kebingungannya. Soalnya, adzan belum selesai, baru hayya ‘alash sholah yang pertama. Tapi, pengurus lain berteriak ke muadzin untuk segera keluar. Akhirnya, sang muadzinlah yang akhirnya keluar paling belakang. Dalam dirinya masih menyimpan kebingungan: bagaimana mungkin saya mengajak orang menegakkan shalat dengan ‘hayya ‘alasholah’ sementara dia justru berlari menjauhi masjid.
Benar saja, sekitar dua menit setelah mereka bergerak menuju tempat yang lebih tinggi (berjarak sekitar sepuluh meter dari masjid), air bah besar pun menggulung semua yang ada di cekungan besar itu, termasuk masjid Jabalurrahmah. Di cekungan itu semuanya tergulung, rumah-rumah warga, lapak-lapak pemancingan, dan beberapa warga yang kebetulan sedang melintas, atau berada di dalam rumah.
Romli dan beberapa pengurus masjid menyaksikan itu. Beberapa warga yang sebelumnya mengungsi di masjid pun ikut menyaksikan pemandangan yang di luar dugaan mereka. Tanggul yang sudah berusia 70 tahun lebih dan berukuran sekitar 20 kali 20 meter persegi ternyata bukan sekadar bolong, tapi jebol sama sekali. Seluruh isi air setu terkuras habis dan tumpah ke cekungan Situ Gunung.
Mereka sulit membayangkan bagaimana nasib warga-warga yang tinggal sepanjang cekungan itu. Sekali lagi, tanggul bukan sekadar bolong seperti yang mereka kira, tapi jebol sama sekali. Bukan mereka yang sebenarnya harus bergadang dan pergi mengungsi, tapi seluruh warga yang berdomisili di sepanjang cekungan Situ Gunung. “Allah Akbar!” ujar mereka begitu membatin.
Keesokan harinya, Romli dan seluruh pengurus masjid baru bisa mendatangi masjid Jabalurrahmah. Satu per satu mereka telisik keadaan dalam masjid. Dua kusen dan pintu jebol terhantam arus. Seluruh kaca jendela sudah tidak lagi melekat di kusen masjid yang masih tersisa. Walaupun begitu, mereka sempat takjub dengan bangunan masjid yang masih berdiri kokoh seperti tak terjadi apa pun. Sementara, bangunan-bangunan di sekitarnya nyaris rata dengan lumpur.
Ada satu properti masjid yang sempat membuat mereka lebih takjub. Yaitu, lemari besar perpustakaan. Lemari itu berukuran sekitar empat kali tiga meter persegi yang biasa digunakan untuk menyimpan Alquran dan buku-buku Islam. Semua bagian depan dan samping lemari terbuat dari kaca. Subhanallah, tak satu pun dari kaca-kaca itu yang pecah. Lemari itu utuh, hanya isinya yang lenyap terbawa arus. Padahal, ketinggian air yang masuk ke masjid mencapai dua sampai tiga meter. Bahkan, beberapa tulisan di secarik kertas masih tetap menempel di kaca. Ada tulisan ‘Tafsir’, ‘Alquran dan Terjemah’, dan lain-lain.
Membayangkan itu, Romli dan pengurus masjid lain bersyukur kepada Allah, karena mereka masih bisa shalat Subuh berjamaah di Masjid Jabalurrahmah, Situ Gintung. Sulit dibayangkan kalau tanggul jebol lima menit lebih lambat. Mungkin, itulah shalat Subuh terakhir mereka di Situ Gintung.
Semoga Allah swt. mengampuni dosa-dosa dan kesalahan para korban jebolnya waduk Situ Gitung. Allahummaghfir lahum, warhamhum, wa’afiihim, wa’fu’anhum.
Seperti yang dituturkan Romli kepada Eramuslim.
mnuh.