Asy-Syahid Dr. Abdullah ‘Azzam di dalam Risallah Jihadnya menyebut Turki sebagai ‘Pelita Yang Hilang’. Dengan goresan penanya yang tajam menyayat kalbu, Abdullah ‘Azzam menulis dengan tetesan airmata mengabarkan tentang kisah padamnya cahaya Islam di pintu gerbang benua Eropa, lebih 90 tahun silam. Walau demikian, ‘Azzam tetap optimis, “Dengan izin Allah SWT, saya yakin, suatu saat Turki akan kembali ke pelukan Islam. Cahaya Islam akan kembali bersinar benderang, bahkan sinarnya akan berkilau lebih indah dan terang dari sebelumnya…”
Kini, doa dan harapan dari salah seorang mujahid terbaik sepanjang masa itu, perlahan mulai diijabah Sang Khaliq. Walau pelan, fajar Islam mulai menyingsing. Cahayanya yang damai menenteramkan hati mulai menyapu pucuk-pucuk dedaunan negeri yang pernah menjadi benteng terakhir bagi Al-Quds ini. Bagai embun yang senantiasa memberi nafas kehidupan.
Turki yang wilayahnya terbentang dari Semenanjung Anatolia di Asia barat Daya hingga ke daerah Balkan di Eropa Tenggara tengah berjalan pasti kembali kepelukan Islam. Seperti halnya mentari, yang pasti kan terbit menerangi bumi setiap hari.
Ada banyak catatan yang Kami toreh dalam muhibah di negara yang berada di kawasan Eurasia ini. Catatan tentang pengharapan dan doa. Tentang teladan seorang pemuda shalih yang amat jarang bisa Kami jumpai di Indonesia yang bangga dengan stempel ‘Negeri Muslim terbesar dunia’. Tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya berkiprah dan berkhidmat kepada Islam, umat-Nya, dan negara. Tentang kegigihan para Muslimah Turki yang sedemikian kokoh mempertahankan identitas Islam di balik segala kelembutan dan keelokannya.
Allah SWT telah memberikan Islam sebagai jantung dan darah bagi bangsa Turki. Sebab itulah, sekeras apa pun upaya musuh-musuh Allah untuk menjauhkan Islam dari Turki, maka kejahatan itu akan senantiasa menemui kegagalan. Fitrah Turki adalah Islam. Inilah sepenggal catatan Kami dari Turki, di sela-sela mengikuti Al-Quds International Forum, 15-17 November 2007:
Pemuda Pendiam dari Masjid nan Lengang
Rabu, 14 November 2007. Hari telah gelap. Roda pesawat terbang yang telah membawa kami melintasi Samudera Hindia telah berhenti di ujung landasan Bandara Kemal Attaturk, Istambul, Turki. Pintu pesawat pun telah terbuka. Diiring senyum ramah kru pesawat, kami pun keluar beriringan, bagai sekawanan semut yang kelelahan setelah menempuh perjalanan belasan jam. Kami langsung menuju hotel di mana kami akan menginap selama berada di negeri ini.
Menjelang Subuh, kami keluar hotel dan mampir ke sebuah kedai roti khas Turki yang buka selama 24 jam. Tak lama kemudian adzan Subuh bergema, bersahut-sahutan dengan teramat indah dan syahdu memenuhi cakrawala pagi di istanbul. Konon, tak kurang dari 3. 000 masjid jami (bahasa Turki: camii) dan surau (mesjit) di kota bersejarah ini memperdengarkan adzan. Di kota ini, 600 masjid di antaranya merupakan masjid tua peninggalan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah yang dibangun sekitar tahun 1300 hingga awal abad ke-19.
Adzan yang kami dengar berbahasa Arab! “Mustafa Kemal Attaturk telah gagal…, ” bathin kami. Betapa tidak, puluhan tahun silam, tatkala tokoh Yahudi Dumamah ini menguasai Turki dengan menghancurkan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, salah satu upaya Mustafa Kemal untuk mensekulerisasikan Turki adalah dengan melarang penggunaan adzan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki. Namun apa yang kami dengar pagi ini sungguh-sungguh melegakan hati. Adzan berbahasa Arab telah kembal bergema di seantero Istanbul. Mustafa Kemal telah gagal…
Kami segera menuju sebuah masjid camii yang berada dekat dengan hotel tempat kami menginap di daerah Taksim, Istanbul. Udara pagi nan dingin membuat kami harus ekstra merapatkan pakaian hangat yang kami kenakan. Di pintu masjid, seorang pemuda setempat dengan sangat ramah menyambut kami. Dengan sangat sopan dia yang mengetahui kami merupakan rombongan tamu, langsung membimbing kami untuk mengambil kantong yang disediakan dan memasukkan sepatu yang kami pakai di dalamnya. Kantong itu kemudian disimpan di dalam loker. Pemuda itu juga menuntun kami ke tempat wudhu.
Jarang ada orang Turki kebanyakan yang bisa berbahasa Inggris. Karena mereka konon sangat bangga dengan ke-Turki-annya sehingga puas hanya bisa berbahasa Turki dan mengenyampingkan mempelajari bahasa lainnya. Namun pemuda itu yang memperkenalkan diri sebagai Bahadir Bargin, 24, ternyata bisa berbahasa Inggris.
Di dalam masjid yang cukup besar, kami hanya menjumpai sedikit warga setempat yang hendak menunaikan Subuh di rumah Allah ini. Bahkan jumlah rombongan kami dari Indonesia ini lebih banyak dibanding jumlah penduduk lokal di masjid ini. Kondisi sholat subuh berjamaah di Indonesia sedikit lebih baik dibanding negeri ini.
Bisa jadi, disebabkan berpuluh tahun silam penguasa Turki menjejalkan sekularisme di Turki, maka kondisi Subuh di negeri ini berbeda dengan kondisi Subuh di Indonesia. Jika suasana Subuh di masjid-masjid di tanah air ramai dengan suara dzikir dan shalawat yang diperdengarkan lewat pengeras suara, tidak demikian dengan apa yang kami alami di Istanbul. Suasananya begitu syahdu. Para hamba Allah dengan khusyuk berdzikir dengan hatinya, bukan dengan lidahnya. Yang tengah tilawah pun demikian. Asyik dengan kesunyian yang menggetarkan dawai-dawai di hati mendendangkan senandung keabadian.
Bahadir Bargin, pemuda yang baru kami kenal itu, duduk dan begitu khusyuk tilawah Al-Qur’an. Wajahnya yang bersih memancarkan kedamaian. Entah mengapa, kami tertarik untuk mengenalnya lebih dekat. Kami menanyakan apakah dia sudah bekerja. Dia mengangguk namun mengatakan bahwa hari ini libur. Kami akhirnya sepakat untuk bertemu kembali di satu tempat setelah agak siang untuk berkeliling kota Istanbul.
Pada waktu yang telah kami sepakati, Bargin ternyata telah menunggu kami di tempat yang kita ditentukan. Dia seorang pemuda yang bisa menepati janji dan on-time. Kami tawarkan agar segera memanggil taksi untuk bisa berkeliling Istanbul, tapi dia menolak dengan halus dan mengatakan lebih baik menyusuri kota dengan berjalan kaki. Jadilah kami menyusuri kota bersejarah ini dengan berjalan kaki. (bersambung)