Sudah bukan hal baru jika mengatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup di dunia. Korupsi sudah menjadi mainan sehari-hari penyelenggara negara di negeri ini. Mulai dari tingkat paling bawah seperti Rt dan Rw, hingga tingkat paling tinggi seperti Presiden.
Kasus Gayus yang seolah menjadi begitu fenomenal sebenarnya hanya segelintir dari gunungan kasus korupsi yang menggeroti negeri ini. Tapi, itu dibuat sedemikian rupa seolah-olah kasus Gayus merupakan prestasi dari sebuah ketegasan dan ketangkasan tim satgas anti mafia hukum bentukan Presiden SBY.
Publik sebenarnya sudah diperlihatkan oleh beberapa kejanggalan kasus Gayus. Mulai dari kepergian Gayus ke Singapura setelah pertemuannya dengan tim Satgas, hingga ‘penangkapan’ Gayus oleh tim Satgas di Singapura.
Pertemuan Gayus dengan tim Satgas beberapa hari sebelum ke Singapura, justru pengakuan Gayus soal modus operandi mafia pajak di tanah air. Begitu pun dengan ‘penangkapan’ Gayus. Seperti yang disampaikan sekretaris tim Satgas, Deny Indrayana kepada sejumlah wartawan, bahwa Gayus ditangkap ketika tanpa disengaja bertemu dengan tim Satgas yang sedang makan malam di restoran Asian Food Court, Lucky Plaza.
Lebih menarik lagi, sejak ‘penangkapan’ pada tanggal 30 Maret lalu, hingga saat ini, hanya dilakukan pemeriksaan sekali oleh tim penyidik pada hari Sabtu, 3/4. Hal itu disampaikan pengacara Gayus, Pia Akbar Nasution kepada sejumlah media.
Sebelumnya, publik sudah menanti-nanti peristiwa penangkapan Gayus yang akan mengungkap jaringan mafia pajak yang melibatkan pejabat Ditjen Pajak dan institusi hukum seperti Polri dan Kejaksaan. Alih-alih tentang penangkapan mafia pajak itu, yang muncul justru sejumlah prestasi dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang begitu sigap melakukan mutasi di jajaran Ditjen Pajak.
Publik seperti digiring pada keterlupaan terhadap skandal Bank Century yang diduga melibatkan petinggi negeri ini. Mulai dari pejabat teras BI, menteri keuangan, dan tim khusus Presiden. Padahal kalau dari hitung-hitungan nilai, harga kasus Century lebih dari dua ratus kali lipat dari kasus Gayus.
Korupsi yang Mendarah Daging
Sebagian masyarakat yang pernah mengalami kasus dengan institusi hukum, pajak, dan dan hal-hal yang berhubungan dengan perizinan, paham betul kalau tanpa uang, urusan akan buntu. Sebuah contoh kecil berikut ini memberikan gambaran betapa ‘tikus’ sudah menguasai struktur negeri ini.
Seorang warga pernah bercerita tentang kasus anaknya yang diduga terlibat narkoba. Ketika sang anak masuk tahanan polisi, beberapa orang berpakaian preman yang sering ‘nongkrong’ di kantor polisi menyampaikan penawaran.
Penawaran ditujukan untuk memberikan berita acara pemeriksaan atau BAP yang menyebutkan bahwa ini hanya kasus kenakalan remaja. Untuk mendapatkan hasil ini, oknum meminta kepada warga tersebut uang senilai 20 juta rupiah.
‘Penawaran’ itu belum berhenti di tingkat polisi. Setelah berkas masuk ke Kejaksaan, penawaran baru pun muncul. Kalau ada uang yang jumlahnya tidak jauh berbeda dengan yang pertama, maka akan mendapat tuntutan ringan.
Kemudian, ‘penawaran’ lain juga muncul dari pihak hakim. Hakim akan memutuskan hukuman paling ringan atau kalau bisa bebas sama sekali, jika warga tersebut menyerahkan sejumlah uang.
‘Penawaran’ seperti di atas ternyata pun tidak berhenti di tingkat pengadilan. Di rutan pun masih ada. Pihak oknum rutan menawarkan sejumlah paket ruangan tahanan yang nilainya juga jutaan. Ada istilah sewa kamar, fasilitas khusus, perlindungan, dan lain-lain.
Bahkan, untuk sekadar menjenguk narapidana pun keluarga harus mengeluarkan uang di tiap pintu masuk rutan yang jumlahnya bisa ada tiga pintu. Tiap pintu minimal berharga 50 ribu rupiah per kali masuk.
Fakta di atas adalah salah satu dari gunungan kasus yang terus terjadi di negeri ini. Hampir di semua lini dan dan sisi. Betapa kasihannya masyarakat negeri yang mayoritas muslim ini. Sayangnya, kita hanya bisa mengatakan kepada generasi baru yang hadir di negeri ini, “Selamat datang di Republik ‘Tikus’.” mnh
foto: ibnuabbaskendari.wordpress