Hampir setengah mil jauhnya, awan hitam bergelombang di langit. Udara terisi dengan sirene, dan orang-orang tumpah ke jalan. Ketika awan perlahan turun, sebuah truk yang ditumpuk dengan mayat-mayat berdarah, melewati mereka dari lokasi ledakan.
Ini Kandahar, dan tidak ada yang terkejut lagi dengan hal itu. Tujuh kali selama setahun, gelombang ledakan bom mobil besar merobek kota, menghancurkan jendela dan memuntahkan awan hitam.
Beberapa minggu yang lalu, sebuah bom meledakkan konvoi mobil polisi. Tidak lama setelah itu, sebuah ledakan mobil besar hancur di pusat kota Kandahar, menewaskan lebih dari 40 dan melukai puluhan.
Saat itu 20 menit setelah azan, ketika semua orang di Kandahar sedang duduk untuk berbuka puasa, ledakan meniup jendela. Tembakan terjadi. Setelah debu, Anda bisa melihat lokasi bom, hanya tiga blok dari rumah, semburan api menembak ke langit malam.
Inilah kehidupan yang sehari-hari dijalani oleh rakyat Kandahar dan para tentara asing di Afghanistan. Pasukan asing telah menghabiskan banyak waktu berbicara dengan rakyat dari semua golongan di Kandahar, mulai dari kaum Mujahidin yang bertempur melawan Soviet pada 1980-an, sampai gerilyawan yang berjuang bersama Taliban pada 1990-an dan Taliban yang memperjuangkan Afghanistan, melawan pemerintah Kabul dan pasukan asing hari ini.
Tentara-tentara itu terperangkap. Mereka perlahan menyadari bahwa kesalahat telah dibuat oleh negara-negara Barat melancarkan perang di sini, apalagi mulai menyusun visi untuk masa depan.
Kandahar memiliki banyak wajah, meskipun, tidak semua melek akan konflik. Hidup di Kandahar sama artinya berenang di dekat Sungai Arghandab, menikmati rasa dingin karamel tipis yakh, dan duduk di antara cabang pohon sebuah kebun delima.
Namun, kekerasan mempengaruhi sebagian besar aspek kehidupan di Kandahar sekarang ini. Kota telah menjadi terbiasa dengan pemboman. Satu buah serangan membutuhkan paling tidak satu jam untuk kembali ke situasi normal; dan rakyat menyerap kekerasan seperti spons.
Setelah ledakan yang baru-baru ini mengembuskan jendela, seorang rakyat Afghanistan berpaling dan berkata, "Ada orang-orang Afghan yang pindah ke Barat dan mengatakan mereka merindukan Afghanistan." Dia tertawa terbahak-bahak. "Ini yang mereka rindukan!"
Sebutlah Akhtar Mohammad. Ia sedikit lebih tinggi daripada kebanyakan orang Afghanistan; dengan janggut berantakan, serban, dan mata berkacamata gelap, ia memimpin sebuah pos polisi kecil di salah satu kota kabupaten. Sambil minum teh, Mohammad dengan enteng meminta $ 50.000 untuk biaya masuk ke kota. Itu jumlah lima tahun yang lalu. Hari ini, dia bisa dengan mudah meminta empat kali lipat dari jumlah itu.
Di Afghanistan, Kandahar telah menjadi tempat yang paling menarik: sebuah pulau yang tampak kuno dan masyarakatnya mencoba untuk berdamai dengan kehadiran militer asing dan korupsi dianggap suatu budaya global. Kandahar yang dipenuhi dengan Muslim yang malang, miskin, dan terjajah, karena pemerintahnya sendiri dan tentu saja, pasukan asing yang telah menghinakan mereka. Selamat datang di Kandahar!
(sa/foreignpolicy)