Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semuanya itu memang benar adanya.
Maka dibuatlah PKI sebagai kambing hitam sebagai tersangka pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang pro Sukarno melalui Gerakan 30 Septemberyang didalangi oleh PKI, atau dikenal oleh pro-Suharto sebagai “G-30/S-PKI” dan disebut juga sebagai Gestapu (Gerakan Tiga Puluh) September oleh pro-Sukarno.
Setelah pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965, keadaan negara Indonesia berubah total.
Terjadi kudeta yang telah direncanakan dengan “memelintir dan mengubah” isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, yang pada akhirnya isi dari surat perintah itu disalahartikan.
Dalam Supersemar, Sukarno sebenarnya hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan negara yang kacau-balau kepada Suharto, bukan justru menjadikannya menjadi seorang presiden.
Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport yang diterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis bahwa akhirnya pada awal November 1965, satu bulan setelah tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno (yang dikenal juga sebagai 7 dewan Jenderal yang dibunuh PKI), Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan, “Apakah Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emas di Irian Barat?”
Forbes Wilson jelas kaget. Dengan jawaban dan sikap tegas Sukarno yang juga sudah tersebar di dalam dunia para elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan minyak dunia, Wilson tidak percaya mendengar pertanyaan itu.
Dia berpikir Freeport masih akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia.
Oleh karenanya, usaha Freeport untuk masuk ke Indonesia akan semakin mudah. Beberapa elit Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo .
Namun pada saat penandatanganan kontrak dengan Freeport, juga dilakukan oleh menteri Pertambangan Indonesia selanjutnya yaitu Ir. Slamet Bratanata.
Selain itu juga ada seorang bisnisman sekaligus “makelar” untuk perusahaan-perusahaan asing yaitu Julius Tahija.
Julius Tahija berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport.
Dalam bisnis ia menjadi pelopor dalam keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan multinasional lainnya, antara lain terlibat dalam PT Faroka, PT Procter & Gambler (Inggris), PT Filma, PT Samudera Indonesia, Bank Niaga, termasuk Freeport Indonesia.
Sedangkan Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.
Sebagai bukti adalah dilakukannya pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 1967 yaitu UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didektekan oleh Rockefeller seorang Bilderberger dan disahkan tahun 1967.
Maka, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Bukan saja menjadi lembek, bahkan sejak detik itu, akhirnya Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung terhadap Amerika, hingga kini, dan mungkin untuk selamanya.
Bahkan beberapa bulan sebelumnya yaitu pada 28 Februari 1967 secara resmi pabrik BATA yang terletak di Ibukota Indonesia (Kalibata) juga diserahkan kembali oleh Pemerintah Indonesia kepada pemiliknya. Penandatanganan perjanjian pengembalian pabrik Bata dilakukan pada bulan sesudahnya, yaitu tanggal 3 Maret 1967.
Padahal pada masa sebelumnya sejak tahun 1965 pabrik Bata ini telah dikuasai pemerintah. Jadi untuk apa dilakukan pengembalian kembali? Dibayar berapa hak untuk mendapatkan atau memiliki pabrik Bata itu kembali? Kemana uang itu? Jika saja ini terjadi pada masa sekarang, pasti sudah heboh akibat pemberitaan tentang hal ini.
Namun ini baru langkah-langkah awal dan masih merupakan sesuatu yang kecil dari sepak terjang Suharto yang masih akan menguasai Indonesia untuk puluhan tahun mendatang yang kini diusulkan oleh segelintir orang agar ia mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Penandatangan penyerahan kembali pabrik Bata dilakukan oleh Drs. Barli Halim, pihak Indonesia dan Mr. Bata ESG Bach.