Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Berlakukan WPT Segera
Seperti diuraikan di atas, sejumlah pejabat negara mengusulkan 3 alternatif untuk mengatasi (sharing the pain) dampak negatif kenaikan BBM yaitu: perbaikan CR, perubahan bagi hasil dan pemberlakuan WPT. Kami meyakini masalahnya bukanlah pada kebijakan atau langkah untuk memilih satu dari 3 opsi tersebut. Tetapi, sesuai amanat konstitusi, yang harus dilakukan adalah menerapkan semua opsi tersebut secara bersama. Pelaksanaan CR seperti dilaporkan BPK tahun 2007, diduga telah menjadi ajang KKN yang merugikan negara puluhan triliun, sehingga perlu segera dibenahi. Perbaikan CR tergantung kepada cara yang diterapkan dan apa yang ditemukan dalam audit. Mantan Dirjen Migas Luluk Sumiarso, pernah mengatakan bahwa pemerintah telah menekan pengeluaran CR dengan mengubah pola perhirtungannya. Melalui pola baru, katanya, perhitungan CR tidak lagi berdasar blok, tetapi berdasarkan rencana pengembangan (plan of development, POD). Sejalan dengan itu, pemerintah juga sudah merencanakan penerbitan PP baru terkait CR, yang hingga saat ini (Agsutus 2009), meskipun telah diundur 2 kali sejak tahun 2007, PP dimaksud belum juga ditetapkan.
Opsi sharing the pain melalui perubahan pola bagi hasil (split) membutuhkan perubahan kontrak (KKS). KKS dengan pola bagi hasil seperti saat ini, yang menerapkan prinsip CR, terbukti lebih banyak menguntungkan kontraktor, sehingga perlu segera diganti. Namun perubahan kontrak membutuhkan waktu dan keberanian serta komitmen pemerintah dan DPR. Langkah penting yang perlu segera diambil adalah menetapkan UU atau Perppu untuk dijadikan sebagai dasar bagi terlaksananya renegosiasi kontrak, yang didalamnya termasuk perubahan pola bagi hasil.
WPT tidak dimaksudkan untuk menambal kebutuhan APBN atau bebagi beban, tapi untuk secara tegas diterapkan atas amanat konstitusi, penegakan kedaulatan dan mewujudkan rasa keadilan. Sebagaimana pajak progresif, WPT adalah realistis dan berfungsi sebagai salah satu mekanisme perlindungan terhadap kepentingan rakyat dari pergerakan harga minyak yang terus bergolak. Kebutuhan migas harus terlindungi, terjamin, dan diberi prioritas utama untuk dipenuhi oleh pemerintah. Karena itu, kenaikan harga minyak dunia juga seharusnya dapat memberi manfaat bagi rakyat, atau sekurang-kurangnya tidak justru merugikan atau menambah kesengsaraan rakyat. Karena itu, sudah saatnya pemerintah memiliki komitmen dan keberanian untuk lebih berpihak pada kepentingan publik. Bukan waktunya lagi pemerintah takut, khawatir, atau bahkan berpihak kepada kepentingan asing dan Multi National Corporations.
Pemberlakuan WPT merupakan hal prinsip untuk menunjukkan kedaulatan negara sekaligus cara mendistribusikan kekayaan secara adil kepada rakyat. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan oleh pemerintahan bukanlah memilih opsi pembenahan CR, merubah pola bagi hasil dalam KKS atau memberlakukan WPT, tetapi menerapkan ketiga-tiganya sekaligus. Untuk itu diperlukan adanya perubahan undang-undang atau penerbitan perppu dan komitmen untuk menegosiasi-ulang kontrak-kontrak migas yang telah berusia puluhan tahun.
Relevansi WPT & Sikap Negara Lain
WPT merupakan salah satu mekanisme yang berguna untuk menyeimbangkan kesenjangan yang timbul akibat kenaikan BBM, berupa pendistribusian lonjakan keuntungan yang dinikmati oleh kontraktor, untuk digunakan menghilangkan atau mengurangi beban yang ditanggung oleh negara dan rakyat, secara lebih adil dan merata. Sebab, kita memahami bahwa kenaikan harga minyak selalu memberikan keuntungan yang sangat besar kepada para kontraktor, tetapi justru mendatangkan beban keuangan yang berat bagi negara dan rakyat.
Kita menyatat bahwa dalam 5 tahun terakhir, melambungnya harga minyak telah membuat sejumlah perusahaan minyak dunia mengalami lonjakan keuntungan. ExxonMobil, misalnya, berhasil meningkatkan keuntungan bersih perusahaannya hampir dua kali lipat, dari US$ 21,5 miliar pada tahun 2003 menjadi US$ 40,6 miliar pada tahun 2007. Sementara, Shell berhasil melipatgandakan keuntungannya 3 kali lebih besar, yakni dari US$ 12,32 miliar pada tahun 2003 menjadi US$ 31,93 miliar pada tahun 2007. Bahkan berdasarkan laporan keuangannya pada kuartal pertama, diproyeksikan Shell setidaknya akan membukukan laba sekitar US$ 36,8 miliar pada tahun 2008 ini (lihat Grafik 1 di bawah ini).
Dalam hal APBN dan penerimaan negara, kita menemukan hal yang justru berbeda. Dengan meningkatnya harga minyak, beban subsidi yang harus ditanggung negara dalam APBN tahun 2008 mencapai Rp 126,82 triliun. Akibtnya, pemerintah telah menaikkan harga BBM sebesar 30%, dan ini berarti tambahan beban bagi ekonomi rakyat. Dalam hal penerimaan negara, kenaikan harga minyak justru mengakibatkan prosentase penerimaan pajak terhadap total penerimaan negara jutsru menurun. Sebagai gambaran, sesuai data yang diterbitkan Departemen ESDM, prosentase penerimaan pajak tersebut pada harga minyak ICP (Indonesia Crude Price) per barel US$ 80, US$ 90, US$ 100, US$ 110 dan US$ 120 masing-masing adalah 22,60%, 22,50%, 21,70%, 21,40% dan 21,25%. Angka-angka statistik ini memperlihatkan bahwa meskipun harga minyak terus naik, prosentase pajak yang diterima negara justru terus menurun. Hal ini jelas tidak wajar dan tidak adil bagi pemilik sumberdaya migas, dan karena itulah WPT perlu diterapkan.
Grafik 1 di atas menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan minyak mengalami banjir rezeki dari kenaikan harga minyak dunia. Karena itu sudah sewajarnyalah perusahaan-perusahan itu ikut menanggung beban kesulitan negara dan rakyat akibat kenaikan harga minyak melalui WPT. Bagaimana mungkin, kenaikan harga minyak, yang pada hakikatnya merupakan kekayaan milik negara, hanya dinikmati oleh perusahaan-perusahaan minyak sementara rakyat justru kian tertekan hidupnya oleh beban kenaikan harga tersebut? Karena itu, merupakan hal yang tidak bijak sekaligus naif jika pemerintah tidak memberlakukan WPT. Sebagai contoh, dengan asumsi harga minyak dunia mengalami kenaikan dari US$ 60 (asumsi harga minyak pada APBN 2007) menjadi US$ 140 per barel, diperhitungkan akan terjadi kenaikan pendapatan perusahaan-perusahaan minyak di Indonesia sebesar sekitar US$ 4,38 miliar atau Rp 40,73 triliun dalam setahun. Jika saja pemerintah dapat menarik tambahan pajak melalui WPT sekitar 50% dari kenaikan harga itu, maka potensi tambahan penerimaan negara yang dapat diraih adalah sebesar Rp 20,36 triliun. Angka WPT dapat bervariasi tergantung tingkat/range harga migas dan vormula yang digunakan.
WPT telah diberlakukan di Inggris dan Venezuela. Inggris misalnya menerapkan WPT sebesar 70% bagi perusahaan minyak yang berproduksi di Laut Utara. Sedangkan, Venezuela memberlakukan WPT sebesar 50% untuk harga minyak di atas US$ 70 per barel dan 60% untuk harga minyak di atas US$ 100 per barel. Parlemen Venezuela menyatakan bahwa WPT merupakan cara yang dapat digunakan untuk mendistribusikan windfall profit migas kepada rakyat Venezuela sebagai pemilik sejati dari minyak. Selain Inggris dan Venezuela, beberapa negara lain seperti Amerika Serikat, Malaysia, dan India juga tengah bersiap memberlakukan WPT. Dalam draft yang dibuatnya, sejumlah anggota Kongres AS mengusulkan pemberlakuan WPT sebesar 50% bagi perusahaan minyak jika harga minyak di atas US$ 80 per barel. Kebijakan ini juga diusung Barrack Obama dalam kampanye pemilu presiden AS. Dalam sebuah kampanyenya, ia menegaskan, "I’ll make oil companies like Exxon pay a tax on their windfall profits, and we’ll use the money to help families pay for their skyrocketing energy costs and other bills".
Algeria juga pernah mengkaji untuk menerapkan WPT. Menteri Pertambangan dan Energi Algeria, Dr. Chakib Khelil, yang juga mantan Presiden OPEC tahun 2001, pernah menjelaskan ke sejumlah tempat dan negara mengenai latar belakang perlunya menerapkan WPT atau exceptional profit tax ini. Dimana dia menyatakan : “… It is a tax which has been imposed given the exceptional profits made by the companies which led to the disequilibrium between the interests of the companies and the state. When the companies signed the contracts the price of oil was $15”. Untuk Algeria, rencananya WPT baru akan dikenakan kalau harga minyak diatas $30 per barel (dengan patokan Brent Crude) dan berlaku untuk kontrak yang telah berjalan. Atas rencana ini, perusahaan minyak yang beroperasi di Algeria keberatan. Tapi Menteri Dr. Chakib Khelil hanya berkomentar : ”This sovereign decision”.
Metode Perhitungan WPT dan Penerimaan Pemerintah
Sebelum memberlakukan WPT, pemerintah harus menyiapkan peraturan (dalam bentuk PP atau Perppu) yang menjadi dasar pelaksanaannya. Hal ini perlu agar pemerintah tidak melanggar kontrak yang berlaku dan tidak digugat oleh kontraktor karena melanggar kontrak. Selain kesiapan peraturan perundangan dan mungkin dikuti dengan perubahan KKS, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum pemberlakuan WPT. Syarat utama agar WPT dapat dijalankan adalah kemampuan finansial kontraktor. WPT hanya tepat diterapkan pada kontraktor tambang yang sudah mendapatkan keuntungan (net income bernilai positif). WPT tidak benar dan kontraprodukrif jika diberlakukan pada perusahaan yang belum mendapatkan keuntungan (net income bernilai negatif).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah formula perhitungan besaran WPT haruslah tepat, objektif dan berkeadilan. Dalam hal ini, harus ada ketentuan yang jelas, apa yang disebut keuntungan dasar (base profit) dan mana yang disebut dengan windfall profit. Dalam hal ini dibutuhkan ketegasan dan keberanian pemerintah untuk memberlakukan formula perhitungan tersebut tanpa pandang bulu. Berdasarkan sejumlah literatur, ada beberapa metode WPT yang dapat diterapkan, yaitu :
1. Besarnya WPT ditentukan oleh proporsi bagi hasil antara pemerintah dengan kontraktor, seiring dengan naiknya harga minyak mentah (crude oil price). Dalam hal ini ada batasan minimal harga minyak yang ditetapkan sebagai base crude oil price untuk menetapkan pola bagi hasil. Misalnya pada base price US$ 40/barel, komposisi bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor adalah 75% : 25%. Pola bagi hasil akan berubah seiring dengan naiknya harga minyak, sbb:
• Pemerintah 75% dan Kontraktor 25% jika harga di bawah US$ 40 – Pemerintah 80% dan Kontraktor 20% jika harga antara US$ 40 – 50 – Pemerintah 85% dan Kontraktor 15% jika harga antara US$ 50 – 75 – Pemerintah 87% dan Kontraktor 12% jika harga di atas US$ 75 – 120 – Pemerintah 90% dan Kontraktor 10% jika harga di atas US$ 120
2. Besarnya WPT ditentukan oleh pajak tambahan yang akan dikenakan pada selisih kenaikan harga minyak mentah dari basis harga yang disepakati. Misalnya asumsi basis harga minyak adalah US$ 60/bbl, jika harga minyak lebih tinggi dari pada US$ 60, maka selisih kenaikan harga minyak tersebut akan dikenakan pajak tambahan sebesar 50%. Maka besarnya WPT yang akan diterima oleh pemerintah adalah seperti grafik berikut :
Untuk memperoleh gambaran tentang besarnya pendapatan yang akan diperoleh, diasumsikan bahwa metode yang diterapkan adalah metode kedua, yaitu ”WPT ditentukan oleh pajak tambahan yang akan dikenakan pada selisih kenaikan harga minyak mentah dari basis harga yang disepakati”. Kami melakukan simulasi perhitungan WPT ) yang diperoleh pemerintah atas dasar asumsi produksi minyak Indonesia adalah sebesar 960.000 barel/hari. Asumsi-asumsi lain yang digunakan dalam perhitungan adalah: Basis harga dasar minyak US$ 60/barel, kurs mata uang US$/Rp 10.200; First Tranche Petroleum, FTP: 10%; volume domestic market obligation, DMO = 25%; DMO price = 15% harga pasar; pajak perusahaan = 44%, dan windfall profit tax sebesar 50% dari yang diperoleh kontraktor (contractor entitlement).
Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa jika harga minyak mencapai US$ 100, maka WPT yang akan diterima pemerintah sebesar Rp 28,64 triliun lebih, sedangkan kontraktor migas akan memperoleh windfall profit hampir US$ 5,62 miliar, atau sekitar Rp 57,3 triliun. Bahkan jika harga minyak melonjak US$ 140, seperti pada saat harga minyak mencapai harga tertinggi, maka windfall profit tax yang akan diterima oleh pemerintah mencapai Rp 57,3 triliun dan kontraktor migas akan memperoleh windfall profit sebesar US$ 11,23 miliar atau sekitar Rp 114,5 triliun (lihat simulasi perhitungan pada Lampiran 1)
Penutup
Harga minyak masih terus berfluktuasi dan karena faktor-faktor supply, demand, spekulasi atau geopolitik, berpotensi untuk naik mencapai US$ 200/barel. Terlepas apakah harga minyak bisa menyentuh angka US$ 200 per barel atau kembali di bawah US$ 70/barel, pada posisi harga US$ 70 – 80/barel saja, dampak ekonominya sudah sangat memberatkan masyarakat. Di sisi lain, kenaikan ini justru merupakan bonanza bagi perusahaan-perusahaan minyak. Oleh sebab itu, sesuai dengan amanat konstitusi dan demi terciptanya keadilan dan perlindungan kepentingan rakyat, maka banjir rejeki perusahaan tersebut perlu didistribusikna melalui pemberlakuan WPT. Apalagi, sebagian besar kontrak-kontrak migas tersebut ditandatangani pada saat harga minyak masih pada level belasan US$ per barel.
Saat ini harga minyak masih berkisar pada angka US$ 60-70/barel. Namun sejarah menunjukkan bahwa harga minyak mempunyai karakteristik yang akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Dampak negatif kenaikan harga BBM terhadap perekonomian, APBN, kehidupan sosial masyarakat dan gonjang-ganjing politik, telah kita rasakan hampir setiap 2 atau 3 tahun. Hal ini merupakan kebiasaan yang kontraproduktif dan perlu diperbaiki dengan berbagai langkah antisipatif demi peningkatan kualitas dan kesejahteraan kehidupan berbangsa dan bernegara kita dimasa depan. Pemberlakuan WPT merupakan salah satu langkah antisipatif yang yang harus segera dilakukan disamping pembenahan CR maupun KKS. WPT merupakan langkah yang realistis sesuai prinsip-prinsip pajak progresif, dan memiliki landasan konstitusional yang kuat dalam rangka melindungi negara dan rakyat dari pergerakan harga minyak yang cenderung naik dan terus bergolak. Maka, segeralah berlakukan WPT.[]
foto ilustrasi: wordpress
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.