“Semua gerakan kami itu tidak lepas dari bimbingan dan petunjuk para kiai itu. Bahkan, beliau-beliau itu memberi bekal kami berupa kekebalan fisik, dengan memberikan gemblengan dan bacaan doa-doa. Untuk gemblengan kekebalan fisik biasanya diberikan oleh KH Achmad Rifa’i. Kiai satu ini yang setia mengikuti kemana kami beroperasi, meski harus berjalan kaki puluhan kilometer,” ungkap kakek ini.
Suatu waktu, saat menjelang penyerangan Kantor Pos yang dikuasai Belanda pasukan Imam tidak bergairah sama sekali. Sekujur tubuh terasa loyo. Akhirnya semua pejuang memohon kekuatan kepada Allah SWT dengan bertawassul di turbah Surga-surgi dan turbah habaib disampingnya. Masyaallah, tambah H Satoeri, kekuatan dan semangat itu tumbuh lagi. Bahkan, meski ditembaki musuh tidak terasa sama sekali, luka tembak pun tidak ada.
Penyerangan terhadap Kantor Pos itu dilakukan karena beberapa polisi Belanda yang mangkal di kantor itu telah menembaki H Satoeri saat menurunkan bendera Belanda dari tugu Alun-alun yang saat itu masih berupa bambu, kemudian menggantinya dengan bendera Merah Putih. Anehnya, meski ditembaki dari jarak yang relatif tidak jauh, tak satu peluru pun mengenai tubuhnya. Begitu pula tak sedikit rasa takut pun menghinggapi dirinya. Malah dengan berani dia menghampiri kantor itu untuk mencari oknum penembaknya.
Sampai pada peristiwa itu H Satoeri menghentikan penjelasannya. Usia dan fisiknya tak mau lagi diajak kompromi untuk berlama-lama bercerita dan mengingat peristiwa lama. Itu sebabnya, dia menyayangkan saat memberi penjelasan peristiwa heroik perjuangannya bersama para pemimpin Islam itu, tak satupun rekannya berada di sampingnya untuk membantu melengkapi keterangannya.
Mereka semua, katanya, telah mendahului menghadap Allah SWT ke alam barzagh (meninggal). Tinggal dirinya yang semakin tua dan mulai berkurang kekuatan memorinya. Sehingga, dia merasa belum puas memberikan keterangan kepada CN, sebab ada sebagian yang sudah hilang dari ingatannya.
Karena itu, ketika memberikan keterangan kepada reporter CN dia membaca tulisan yang sudah ia siapkan sebelumnya. Tulisan tentang dokumentasi perjuangannya di medan perang itu disusun dan diketik pada tanggal 5 Maret 1984. Dokumen itu dia perbanyak untuk diberikan kepada pihak-pihak yang memerlukan, termasuk media informasi.
“Seandainya ada satu saja teman seperjuanganku masih hidup pasti akan saya ajak membantu melengkapi cerita ini. Jadi, kamu nak bisa mengetahui peristiwa heroik itu dengan jelas. Di samping agar saya tidak dianggap cerita bohong,” pungkasnya dengan meneteskan air mata. (kl/forsansalaf.com)