Pada clash II tahun 1947, Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia berhasil memasuki negeri ini membonceng pasukan NICA. Pasukan penjajah dari negeri kincir angin itu memasuki kota Pasuruan pada bulan Juli, melalui arah selatan yakni dari Malang menerobos daerah Weringin Contang Pacarkeling (wilayah kabupaten Pasuruan).
Pasukan pejuang H. Satoeri pimpinan Imam Jembrak (julukan laki-laki yang berambut panjang) dan Faqih mulai mengadakan aksi sejak hari ketiga kedatangan pasukan Belanda di kota Pasuruan. Itu dilakukan setelah melakukan pengamatan cermat terhadap gerakan mereka. Diawali dengan membuat kekacauan di kota, memutusi kawat-kawat listrik dan kabel-kabel telepon jaringan fital yang menghubungkan instansi-instansi penting yang dikuasai Belanda.
Tidak itu saja, untuk mendapatkan persenjataan perang pasukan Imam mengadakan penyerbuan ke tempat-tempat konsentrasi pasukan musuh yang diperkirakan sebagai tempat penyimpanan senjata. Juga, dengan melakukan penyergapan dan penghadangan pasukan musuh yang tengah berpatroli, untuk merampas senjatanya.
Sejumlah markas musuh diserbu, diantaranya di pabrik Boma Stork, Rumah Sakit Purut, pabrik Pleret (TTI sekarang, red), Poncol, markas Gadingrejo, dan di Proof Stasiun (P3GI). Sementara penyergapan dilakukan terhadap patroli polisi Belanda di Karangketug, Sutojayan Pohjentrek, Kejayan, Tamba’an, Sangar, Bugul, Gembyang Kraton, Alun-alun, di Jl. Diponegoro, dan Jl. Nusantara.
Aksi itu membuahkan hasil, enam puluh satu pucuk senjata, baik pistol maupun senjata laras panjang berhasil dirampas dari pasukan Belanda. Juga, dua buah mesin tulis, dan sembilan belas sepeda pancal. Tak hanya itu, dua belas Polisi Belanda pun terbunuh. Namun, di sisi lain tujuh orang pasukan pejuang gugur tertembak.
Setelah berhasil memiliki senjata, pejuang kita melakukan penyerangan pada malam hari secara gerilya (serang dan lari, red) terhadap pasukan Belanda di berbagai tempat, termasuk penyerbuan pos-pos polisi Belanda di Sangar dan Kebonagung. Biasanya saat melakukan penyerangan malam hari para pejuang menggunakan pakaian serba hitam, untuk mengelabui musuh.
Aksi itu menyebabkan pasukan musuh kacau yang kemudian melakukan serangan balasan secara membabibuta dengan tembakan mortir. “Alhamdulillah, tak satu pun tembakan mereka mengenai sasaran. Peluru mortir itu semuanya nyasar ke sawah-sawah,” cerita purnawirawan Polisi dengan pangkat terakhir Peltu, di Komres 1025 (sekarang Polres, red) Lumajang ini.
Kegagalan serangan balik pasukan musuh itu menyelamatkan wilayah pertahanan pasukan Imam beserta rakyat penghuninya. Saat itu pos-pos pertahanan hizbullah tersebut berada di desa Gentong, Bukir dan Sangar. Itu sebabnya, Imam Cs makin memiliki kesempatan mengintensifkan serangan terhadap musuh di pusat kota. Mereka melakukan penyerangan secara gerilya, terutama pada malam hari hingga akhir tahun 1948,” papar H. Satoeri.
Untuk mendekatkan posisi pejuang dengan sentra-sentra keberadaan pasukan musuh, pasukan Imam membentuk pos-pos komando (posko) di wilayah kota. Itu dilakukan setelah Imam Cs. bergabung dengan kawan-kawan perjuangan TRI Hizbullah yang menyatakan diri hijrah ke pasukan republik.
Ada empat belas posko didirikan di sebelas desa wilayah kota Pasuruan, yakni sebuah posko masing-masing dibangun di Sangar, Bangilan, Mayangan, Tamba’an, Gentong, Sebani, Wirogunan, Purutrejo, Kepel/Tapa’an, dan Petung/Bakalan. Sementara di Kebonsari didirikan empat posko.
Empat posko di Kebonsari dan sebuah di Bangilan merupakan posko terdekat dengan lokasi pasukan musuh yang bermarkas di pusat kota. Posko-posko tersebut digunakan selama tahun 1948. Sebuah bekas posko yang tersisa dan belum berubah sampai sekarang (sengaja tidak diubah bangunannya, dindingnya tetap dari papan-papan kayu) adalah yang berada di Jalan Diponegoro, Kebonsari, yakni sebuah musholla. Masyarakat Pasuruan menyebutnya Langgar.
Karenanya, kata H. Satoeri, hingga kini musholla itu disebut “Langgar Perjuangan”. Setiap bulan Ramadhan musholla tersebut menjadi salah satu tempat kegiatan Khotmul Qur’an Keliling asuhan Ustadz Habib Taufiq Assegaf, yang dihadiri ratusan jamaah. “Barangkali itu sebagai salah satu bentuk penghargaan generasi sekarang terhadap perjuangan pahlawannya. Dengan begitu kita dapat mengenang terus perjuangan beliau-beliau itu,” tutur Bapak berputra enam belas orang itu.
Awal tahun 1949 Batalyon Syamsul Islam masuk Pasuruan, mengajak pasukan Imam bergabung dalam formasi Batalyonnya. Kedua pasukan itu disatukan dalam Kompi Ngadipurnomo. Penggabungan kedua pasukan itu semakin memperkuat semangat perjuangan mereka. Itu sebabnya, pejuang-pejuang muslim itu kemudian memperluas wilayah perjuangannya hingga daerah kabupaten Pasuruan, bahkan menerobos kota Malang dengan membangun sejumlah pos komando baru.