MOMENTUM
Cerita ini akan saya mulai saat Syaikh ‘Ali Jabeer tilawah, dan tambahan suasana perasaan saya sebagai muhasabah bagi pembaca. Barangkali ini bukan cerita utuh aksi 4 November sejak ba’da dzuhur sampai tengah malam. Sebab akan ada banyak bagian peristiwa yang saya potong dan langsung ke inti cerita.
Semoga tak hanya sekadar laporan pandangan mata biasa, tapi disertai hikmah yang mudah-mudahan sampai ke dalam dada pembaca. Bismillah…
Syaikh Ali Jabeer dan Air Mata Ummat
Sekitar pukul 16.00, saya dan satu teman saya maju ke depan mendekati sound, tepat saat Bang Fahri mulai orasi. Kawan kampus saya yang lain tidak ikut terus ke depan, karena tempat sudah sangat sesak.
Singkat cerita, sampai maghrib aksi di dekat Istana hanya diisi orasi-orasi dan kabar bahwa presiden tidak bisa ditemui. Setelah maghrib, koordinator lapangan (korlap) mengumumkan untuk sholat maghrib dan isya dijamak ta’khir.
Kemudian Syaikh Ali diminta tilawah. Inilah bagian yang paling banyak membuat massa menangis. Sebelum Syaikh Ali tilawah, beliau memberi pengantar. Singkatnya beliau berkata, “Saya lahir di madinah, tapi saya siap mati di Indonesia.”
Banyak massa seketika bertakbir dan menangis. Beliau sudah berpesan ke istrinya untuk tidak menunggu pulang sampai ada kabar urusan selesai. Bahkan beliau sudah tulis surat wasiat dan siapkan kain kafan di rumah!
Lalu beliau baca surat Al Hujurat ayat 14-18. Pada akhir-akhir bacaan, beliau menangis. Saya lupa urutannya, apakah Syeikh Ali tilawah dulu atau dzikir dan doa dulu oleh Ustadz Arifin Ilham.
Yang pasti, dua momen ini merupakan saat-saat paling tenang dan saya pribadi optimis bahwa aksi akan tetap damai jika tidak ada provokator. Pasalnya, berkali-kali sayap kanan dan kiri sedikit ricuh.
Singkat cerita lagi, begitu Ustadz Bachtiar Nashir mengumumkan hasil dialog dengan wapres bahwa pemerintah siap berkomitmen selama 2 pekan menyelesaikan kasus ahok (yang dimandatkan kepada Kapolri), massa langsung ramai dan menolak. Sebab yang diinginkan adalah bertemu dengan presiden dan tuntutan utama ahok langsung ditangkap hari itu juga
Berlanjutlah orasi dari para habaib, kiayi, ustadz, dan sholawat, yel-yel, takbir sampai adzan isya. Ketika Ustadz Arifin Ilham memutuskan untuk kembali masuk ke istana dan negosiasi lagi, massa mulai banyak friksi.
Saya perhatikan, beberapa anak laki-laki yang merokok itu telinganya beranting, ada yang terus-menerus marah-marah, ada yang marah-marah antarpeserta. Sayap kanan depan beberapa kali ramai. Sayangnya, pandangan saya tidak bisa menjangkau bagian ini (apa pemicu keramaian).
Bombardir Tembakan
Nah, saya lewati beberapa acara di atas mobil sound, dan langsung saja ke peristiwa chaos. Kurang lebih pukul 20.00, saya tidak begitu awas lagi melihat jam tangan, ketika sayap kiri mulai ricuh dan tiba-tiba ada tembakan petasan (bagi yang sudah sering demo pasti tahu seperti apa).
Tembakan petasan diarahkan ke samping kiri, belakang mobil sound depan. Saat itu ada dua mobil sound. Massa mulai goyah, ditambah rentetan gas air mata dan tembakan petasan yang terus-menerus membombardir sayap kiri.
Tapi sulit untuk didefinisikan siapa yang memicu kericuhan tersebut. Apakah HMI atau siapa, saya tidak bisa memastikan karena keterbataan pandangan mata. Belakangan ada klarifikasi dari HMI bahwa mereka tidak terlibat sebagai provokator. Wallahu’alam. (dari sejumlah foto dan keterangan yang beredar di medsos, provokatornya adalah penyusup non-Muslim, red)
Saya bisa bilang dengan tegas bahwa komando di mobil selalu menenangkan, sama sekali tidak memicu kerusuhan. Justru rasanya khidmat dan membakar semangat.
Saya prediksi sekitar satu jam lebih peristiwa bombardir oleh tembakan petasan, gas air mata, water canon (khusus ke sayap kiri), bom ledak telinga (ini agak beda dengan bom petasan yang lebih kecil) itu terjadi.
Awalnya, saya terdorong massa yang mundur dari barisan depan ke sayap kanan jalan (bukan sayap kanan depan yang beberapa kali ricuh). Saya tidak bisa bergerak bebas karena terus memegang/menjaga teman saya yang belum pernah mengalami aksi rusuh begini, apalagi bertahan dibombardir.
Saya sendiri pernah menghadapi bahaya yang lebih mengerikan ketika aksi, sampai rusuh di bawah lemparan bom molotof. Tapi dari lamanya bertahan, ini aksi yang paling lama dan paling melelahkan.
Semakin lama, tembakan gas air mata diratakan ke semua penjuru. Lokasi saya berkali-kali ditembak bom petasan besar dan kecil serta gas air mata. Beberapa kali rasanya saya sudah hampir pingsan. Gerak tidak bebas karena masih memegangi teman saya yang panik sekali. Masa maju mundur, komando tetap bertahan. Jangan mundur jauh, dan jangan maju menyerang polisi.
Sepanjang saya mengikuti aksi, tidak pernah separah ini dihujani gas. Kadang saya duduk berkerumun dengan massa FPI, kadang pindah tempat, kadang sesekali membasuh muka.
Saya dengar beberapa massa bicara kasar. Ada yang takbir, ada yang tahlil, ada yang syahadat berkali-kali, ada yang adzan. Sekilas lewat di depan saya laki-laki agak muda dibopong karena bocor kepalanya. Dilihat dari penampilan, sepertinya massa FPI barisan depan, sambil teriak, jangan mundur! yang lain berteriak para habaib dan ulama berada di garis depan, jangan mundur!
Seorang Kakek di Barisan Depan
Ini yang membuat saya hendak menangis, ditambah sesak dan air mata karena gas yang terus mengucur. Saya melihatnya semenjak maghrib. Kakek-kakek yang tetap bertahan meski suasana di sekitar sudah kacau balau, gas air mata yang perih dan menyesakkan, bunyi bom petasan yang memekakkan telinga. Saya bisa pastikan usianya sudah sepuh sekali.
Saya lihat agak dekat di depan saya, juga di mobil sound kiayi-kiayi yang sempat dibombardir kiri kanan dengan gas air mata dan bom petasan. Mereka berlindung dengan spanduk. Korlap tetap menenangkan dan memimpin dzikir. Salah satu barisan paling depan itu Syaikh Ali Jabeer. Saya lihat beliau dievakuasi belakangan, ketika saya sudah istirahat di patung kuda bersama massa yang lain.
Ini yang membuat saya malu sekali. Berkali-kali saya maju mundur karena tidak tahan gas air mata dan ledakan yang sering tiba-tiba muncul tepat di bawah kaki. Sementara para ulama yang sudah punya tanggungan keluarga, mereka rela meninggalkan anak istri dan bertahan di garis depan! Allah….
Kakek itu tetap bertahan walau setelah maghrib ada instruksi anak-anak, perempuan, dan orang yang sudah sepuh dievakuasi.
Allah, saya malu terhadap diri sendiri. Rasanya tidak pantas berkoar-koar siap menjadi generasi sholahuddin.
Harga Diri Pewaris Nabi Dilecehkan!
Sempat ada jeda waktu agak berkurangnya gas air mata yang disemprotkan. Ini waktu ketika rentetan bom penghabisan hendak dikeluarkan dan massa ditarik mundur. Saya tarik teman saya ke tengah belakang mobil sound karena sayap kiri kanan mulai sering dibombardir.
Masa tetap maju mundur, banyak yang dibopong mundur ke belakang, banyak yang minta air, sebagian maju mundur karena instruksi tetap damai, tidak menyerang polisi, dan bertahan di tempat.
Saya tidak bisa membayangkan kalau instruksinya menyerang. Bisa meledaklah perang saudara di negara ini. Ribuan (mungkin ratusan ribu kalau sampai barisan ujung patung kuda) masih bertahan maju mundur.
Saya benar-benar lupa waktu, mungkin sekitar pukul 21.00, bombardir ke segala penjuru dimulai. Kiri, kanan, tengah, mobil sound masih bertahan dengan cara melindungi diri dengan spanduk. Para kiayi dan habib menggunakan spanduk seperti menahan turunnya air hujan dan sebagian (anak muda di sound) mengipas-ngipaskan bendera untuk mengurangi asap.
Kapolri Tito Karnavian, tiba-tiba memberikan perintah untuk menghentikan tembakan lewat sound mobil polisi. Pada saat ini, yang mengejutkan saya berulang-ulang adalah ketika perintah itu diucapkan, tembakan tetap tidak berhenti.
Cukup lama instruksi diulang, hampir sepuluh menit, bombardir tetap jalan. Saya berpikir, ada pimpinan di atasnya, boleh jadi pimpinan tertinggi, yang memerintahkan sepihak dan garis komando diputus.
Kemudian saya berpikir, R1 harus tumbang. Saya tidak mau berdebat rasionalisasi. Peristiwa ini menurut saya sudah urusan harga diri para pewaris nabi yang dilecehkan!
Jangan Sebut Dirimu Pembela Agama
Sebelum massa diinstruksikan mundur ke patung kuda, bakar-bakaran sudah berada dibanyak titik. Paling banyak sebetulnya bakar sampah aksi. Saya tidak bisa memastikan bagaimana kronologis insiden mobil terbakar dan bakar ban mobil yang menyebabkan aksi ricuh. Saya tidak melihat langsung.
Sudah tak memungkinkan bertahan, instruksi muncul dari mobil sound untuk mundur ke patung kuda. Sepanjang jalannya mobil sound, banyak kiayi/habaib yang dievakuasi. Setelah itu tidak ada komando resmi lagi.
Saya tanya di grup aksi, tidak ada respon yang pasti dari Pak Munarman selaku korlap. Singkat cerita, saya memutuskan pulang pukul 22.00/22.30. Waktu saya gunakan agak lama untuk istirahat dan shalat di dekat patung kuda.
Peristiwa besar pada 4 November ini membuat saya berpikir. Tidak layak lagi kita yang mengaku sudah mengaji, aktivis, mengaku paham syariat Islam, kemudian disebut sebagai pembela agama di garis terdepan ketika melihat sebagian teman-teman FPI justru bertahan di garis depan ketika dibombardir polisi.
Mereka tidak mundur sedetik pun! Sejengkal pun! Kecuali setelah diinstruksikan dari komando utama mobil sound untuk mundur.
Ini termasuk yang saya tangisi bakda shubuh tadi. Kita terlalu terbiasa menonton film hamas tanpa teruji di lapang bagaimana gentingnya bertahan di bawah desingan senjata.
Wahai pemuda, apakah engkau sungguh-sungguh seorang pembela agama Allah?
Catatan Jalanan, 5 November 2016
Diki Saefurohman
(Mantan koordinator Pusat BEM-SI 2014)