Pemilihan Umum 9 April lalu merupakan pemilihan umum paling amburadul kualitasnya sejak Jenderal Suharto lengser. Entah apakah hal ini merupakan hasil kekhilafan KPU atau ada operasi intelijen di belakangnya, semuanya serba mungkin. Yang pasti hasil Pemilu 2009 sudah tampak di depan mata: Golongan Putih menang dengan angka mencapai 40%, mengalahkan Partai Demokrat yang hanya meraup angka sekitar 20%-an, dan di bawahnya terdapat PDI-Perjuangan dan Golkar. Masalahnya, di negeri Pancasila ini suara rakyat yang memilih Golongan Putih tidak pernah dianggap ada, yang diakui oleh negara hanyalah “Golongan Hitam”, meminjam istilah Budayawan Sudjiwo Tejo, alias orang-orang yang mau disuruh untuk memilih “yang baik dan benar”.
Pengamat politik Bony Hargens menegaskan jika partai-partai politik, termasuk Partai Demokrat, sesungguhnya jangan bergembira dahulu, “Karena yang keluar sebagai pemenang di Pemilu Legislatif kemarin adalah Golongan Putih, bukan mereka.”
By The Way, fakta yang terjadi hari-hari ini adalah kesibukan yang luar biasa yang dilakukan para petinggi partai politik untuk mencari selamat : ya menyelamatkan uang yang kadung sudah mereka keluarkan, menyelamatkan muka, dan yang paling penting menyelamatkan pendaringan mereka agar dapur bisa tetap menyala. Sebab bukan rahasia lagi jika para petinggi partai politik, juga para calegnya, (kebanyakan) adalah para penganggur, yang tidak memiliki pekerjaan lain selain memperdagangkan suara rakyat atau umat. Di negara ini, politik merupakan “mega-proyek” yang amat sangat bisa menguntungkan, hanya bermodal uang miliaran rupiah dan kepandaian bicara, namun bisa menggasak uang rakyat sebanyak-banyaknya. Bukan rahasia umum lagi jika banyak dari elit partai bisa ‘mendadak kaya’ semata karena jualan suara rakyat atau jualan suara umat.
“Salah satu sebab rakyat banyak memilih Golput karena rakyat telah banyak tahu dan sadar jika motivasi utama menjadi caleg saat ini hanyalah untuk memperkaya diri sendiri dan juga kelompoknya,” demikian Hargens.
Dan saat ini, setelah para elit parpol mengetahui sedikit banyak ‘bocoran’ perolehan suara parpol mereka, maka upaya pertama kali yang harus dilakukan yaitu menyelamatkan kelompok mereka agar tidak terlempar keluar dari lingkaran elit kekuasaan, yang berarti juga tidak terlempar dari sumber uang yang sangat banyak yang bis amenjamin masa depan mereka. Jangan tanya dikemanakan janji-janji mereka kepada rakyat di saat kampanye beberapa hari lalu. Upaya cari selamat ini dilakukan semua parpol dengan tidak lagi mengindahkan ideologi dan misi serta misinya. Semuanya serba mungkin, semuanya serba boleh, asalkan: Harga sesuai.
Kenyataan ini sesungguhnya membuka mata kita semua jika sebenarnya mereka itu sama saja, tiada beda. Jika dalam kampanye mereka mengklaim sebagai kaum nasionalis, kaum pembela wong licik—eh cilik, kaum yang paling suci, kaum profesional, kaum buruh, dan menyerang parol lain yang tidak sepaham, maka itu hanyalah upaya mereka untuk menipu rakyat. Di belakang kita sekarang, mereka kasak-kusuk untuk bisa sama-sama menyelamatkan diri.
Salah satu yang aneh bin ajaib adalah fenomena bersatunya (upaya koalisi) parpol besar yang ketika pemimpin umumnya berkuasa banyak menggadaikan aset negara kepada asing dengan parpol baru yang mengklaim diri sebagai anti liberalisasi dan berpihak kepada petani. Ini bagaikan menyatukan air dan minyak, jika klaim parpol baru itu tulus. Namun jika mereka bisa bersatu dengan baik, berarti mereka “sama-sama air” alias tidak beda. Visi, Misi, dan Ideologi hanyalah sekadar merek dagang, sedang isinya sama. “Gombal semua!” tandas Dr. Sri Bintang Pamungkas.
Realitas Politik
Walau demikian, realias politik yang ada mau tidak mau harus tetap diperhitungkan. Walau hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum, yang diakui sebagai hasil perhitungan yang sah dan diakui undang-undang, belumlah final. Namun dari hasil perhitungan cepat sejumlah lembaga survei nasional, juga pergerakan hasil tabulasi nasional KPU dari menit ke menit, telah menunjukkan data jika Partai Demokrat mengungguli perolehan suara di mana-mana, baik di dalam negeri maupun di TPS-TPS luar negeri dalam prosentasi yang sulit dikejar partai-partai politik lainnya.
Walhasil Presiden SBY yang juga capres dari Partai Demokrat saat ini tengah menjadi primadona peta perpolitikan nasional. Semua parpol, kecuali tentunya yang memiliki dendam sejarah, ingin menjadi sekutu dari Partai Demokrat, bahkan ada pula yang ujug-ujug menggandengkan SBY dengan calon dari partainya sendiri sebagai capres dan cawapres dalam Pemilu Presiden mendatang.
Posisi tawar yang sangat tinggi yang dimiliki Partai Demokrat menjadikannya bebas menentukan siapa saja yang akan digandengnya untuk bersekutu, karena tanpa harus bersekutu pun atau berkoalisi pun—bahasa syariahnya “Musyarokah”—Partai Demokrat bisa melenggang sendirian mencapreskan dan mencawapreskan tokohnya sendiri. Ini jika SBY punya nyali.
Salah satu partai besar yang awalnya bernafsu ingin menyaingi popularitas SBY dengan Partai Demokratnya adalah Partai Golkar yang sejak dini telah gembar-gembor akan mencapreskan Jusuf Kalla, mitra SBY selama empat tahun lebih sedikit ini. Namun dengan perolehan suara seperti hari-hari ini, Partai Golkar sebagai partai yang telah ada sejak kelahiran Orde Baru-nya Suharto, mau tidak mau harus realistis. Sebagai partai “paling berpengalaman”, yang telah terlalu banyak makan asam garam pentas politik di negeri ini, Partai Golkar pun mengakui kekalahannya dan tengah menimbang-nimbang untuk menurunkan sedikit posisi Jusuf Kalla, dari Capres menjadi Cawapres. Sosok SBY pun dilirik lagi oleh Partai Golkar sebagai tandem dari JK. Sesuai dengan moto kampanye Partai Demokrat: Lanjutkan! Dan juga moto Partai Golkar: Lebih Cepat Lebih Baik. Yang belakangan tentu kini memiliki penafsiran lain.
Bagaimana dengan partai-partai yang memiliki suara lolos dari Electoral-Tresshold (ET) namun nanggung untuk menjadi kuat posisi tawarnya? Kalah set dengan Partai Golkar untuk bisa mendampingi SBY? Dengan logika realistis, tentu SBY akan menjatuhkan pilihannya kepada pendamping yang “jauh lebih cantik” ketimbang yang “pas-pasan”. Mereka ini tentu lebih pusing lagi. Apalagi bagi mereka yang sudah terlalu nafsu untuk mencalonkan tokohnya sendiri sebagai cawapres mendampingi SBY. Maksud hati mau mendapatkan kue kekuasaan lebih besar, namun modal yang dimiliki cekak. Padahal sudah menggadaikan semuanya. Atau kata orang Betawi, “Nafsu gede tenaga kurang.” Untuk parpol-parpol nanggung seperti ini kiranya tidak perlu dibahas karena tidak akan banyak berperan untuk negeri ini untuk Indonesia lima tahun ke depan.
Kita tentu sudah bisa memastikan jika SBY akan maju kembali sebagai capres. Dengan modal yang sangat kuat sekarang ini, bukan mustahil SBY akan melanjutkan kembali kekuasaannya untuk periode lima tahun lagi. Tulisan ini akan mencoba untuk “memberi pencerahan” kepada kita semua, untuk bersikap reflektif, apa-apa saja yang telah dilakukan SBY dalam masa kepemimpinannya kemarin, dan agenda apa yang hendak dibawanya ke depan jika berkuasa lagi. Semua ini dilakukan agar rakyat tidak lagi-lagi tertipu membeli kucing dalam karung. Bagai iklan sebuah produk haram di teve yang menyatakan jangan tertipu ukuran: Belum tentu pisang jumbo memiliki “isi” yang juga jumbo. (bersambung/rd)