Lima tahun lalu, Pilpres 2004 telah sukses menghantarkan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pesiden RI, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputeri-Hasyim Muzadi. SBY dan pasangannya, JK, terpilih dalam pilpres yang relatif berjalan dengan demokratis, sebab itu naiknya pasangan SBY-JK mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat. Pemilu dan Pilpres 2004 merupakan pemilu pertama yang “natural” dalam alam reformasi, setelah terjadi gejolak politik dengan diturunkannya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan secara tidak hormat oleh DPR gara-gara kelewat ngawur dalam memimpin negara ini. Saat itu, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputeri otomatis naik menjadi presiden menggantikan Durahman yang pulang kampung ke Ciganjur.
Dengan legitimasi yang begitu kuat, ditambah stabilitas dalam negeri yang relatif bagus, seharusnya pasangan SBY-JK bisa cepat menyembuhkan luka bangsa ini, luka fisik maupun psikis. Namun kesempatan emas ini ternyata disia-siakan SBY-JK. Tim Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yang dibangunnya ternyata hanyalah perpanjangan tangan kekuatan neo-liberian yang berkiblat pada Washington, bukan Ibu Pertiwi. Ini sama saja dengan tim ekonomi-nya Suharto, Habibie, Durahman, dan Megawati. Konsensus Washington yang sangat merugikan bangsa ini terus dipakai, padahal seharusnya dibuang ke selokan dan atau dihancurkan, diganti dengan strategi ekonomi yang berpihak kepada bangsa Indonesia, bukan kepada Washington.
Dalam Pemilu 2009, SBY mengklaim jika pemerintahannya telah sukses menuai hasil yang signifikan dan membawa perbaikan bagi bangsa dan negara Indonesia. Di sisi lain, anak-anak jalanan kian memludak, jumlah pengangguran meroket, kian banyak orang bunuh diri, dan sebagainya. Sebab itu banyak orang yang menyatakan jika SBY-JK juga gagal membawa bangsa ini keluar dari krisis. Mana yang benar?
Rakyat Miskin Mensubsidi Kehidupan Mewah Pejabat
Janji-janji SBY-JK sebenarnya telah dituangkan dalam Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004 -2009 atau RPM. Isinya bagus, namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Dalam salah satu kebijakan liberalnya, rezim SBY-JK mengatakan jika negeri ini akan mengikuti harga minyak sesuai pasar (berarti mengikuti harga jual minyak di New York—ini merupakan tindakan aneh, minyak milik kita sendiri, dijual di negeri sendiri, namun harganya harus mengikuti harga New York. Sebab itu banyak orang menuding jika rezim SBY-JK merupakan franchise dari pada AS), namun ketika harga minyak dunia turun di bawah USD 50 per barel, di mana seharusnya pemerintah Indonesia mengikutinya dengan menurunkan harga premium menjadi Rp 3800 perliter, tapi rezim SBY-JK mau menang sendiri. Harga premium malah dipatoknya sebesar Rp 4500 per liter.
Ini sangat ironis sekaligus menunjukkan teganya rezim SBY-JK kepada rakyat kecil. Di tengah kesulitan dan kesengsaraan hidup, para supir angkot dan buskota, para nelayan miskin, dan rakyat miskin lainnya malah dijadikan sapi perahan dengan diharuskan mensubsidi pemerintah. Menurut data Bappenas, dari penjualan premium dan solar saja pemerintah mendapat subsidi dari rakyat sebesar 1 triliun rupiah. Pemerintah, yang seharusnya membantu rakyatnya yang miskin dengan menjual minyak dengan harga yang adil, ternyata malah menjadikan rakyatnya sendiri sebagai ‘romusha’ atau orang-orang yang dipaksa bekerja, demi mensubsidi pemerintah dengan segala fasilitas dan gajinya yang sangat besar dan mewah.
Di bawah ini saya sertakan pergerakan harga minyak di Indonesia sejak awal SBY-JK terpilih hingga sekarang (medio April 2009) : Tahun 2004, harga minyak mentah dunia per barel adalah USD 40, sedangkan 2009 menjadi USD 45. Ini angka yang hampir sama. Namun kenaikan harga premium, tahun 2004 adalah Rp 1810 sedangkan tahun 2009 menjadi Rp 4500, naik sebesar 249%. Harga Minyak Solar, dari Rp 1890 menjadi Rp 4500, naik 238%. Harga Minyak Tanah dari Rp 700 menjadi Rp 2500, naik sebesar 370%.
Dilihat dari pergerakan harga minyak saja, dari tahun 204 hingga April 2009, rezim SBY-JK jelas telah gagal berperan sebagai pemimpin yang mengayomi dan meringankan kehidupan rakyat.
SBY-JK Gagal Mengentaskan Kemiskinan
Janji utama rezim SBY-JK adalah mengentaskan angka kemiskinan dan pengangguran. SBY menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 6.6% selama masa kepemimpinannya. Namun ini pun gagal. Di atas kertas, SBY-JK mengutamakan pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berdimensi pemerataan melalui penciptaan lingkungan usaha yang sehat, sehingga banyakmasyarakat yang terbantu dan hidup menjadi lebih baik. Yang terjadi adalah kehidupan paa pejabat dan keluarganya yang kian hari kian baik, kian makmur, dan kian mewah, meninggalkan rakyat banyak yang hidup seperti di dalam neraka.
Selama empat tahun masa kekuasaannya, SBY-JK hanya mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata sebesar 5.9% saja, padahal harga barang dan jasa (inflasi) naik di atas 10.3%. Ini jelas membuktikan bahwa secara makro, SBY-JK gagal mensejahterakan rakyat. Data dari Menteri Keuangan RI sendiri membuktikan hal itu, malah pada tahun 2009 kinerja SBY-JK termasuk yang paling buruk, hanya berkisar 5.0% sedangkan targetnya 7.6%.
Dilihat dari tingkat infasi, SBY-JK juga gagal. Inflasi merupakan penurunan nilai uang kartal yang beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang. Makin tinggi tingkat inflasi, maka harga barang dan jasa akan dirasa makin mahal dan makin mahal harga barang dan jasa, berarti makin susah kehidupan rakyat. Walau secara alamiah inflasi akan naik tiap tahun dalam penggunaan mata uang kartal yang sebenarnya menipu ini, namun penguasa akan dikatakan berhasil secara makro ekonomi jika tingkat inflasi berhasil ditekan dibawah angka pertumbuhan ekonomi. Namun fakta menunjukkan jika selama empat tahun masa kekuasaan rezim SBY-JK, tingkat inflasi selalu dua kali lebih besar dari pertumbuhan ekonomi.
Kinerja SBY-JK menyebabkan angka kemiskinan malah bertambah, sehingga menjadi sebesar di atas 35 juta jiwa menurut takaran BPS yang sebenarnya juga tidak memenuhi standar kehidupan manusia normal di zaman sekarang. Satu-satunya prestasi yang dikerjakan SBY-JK adalah meningkatkan taraf kehidupan para pejabat negara. Yang tadinya hanya dosen biasa, paling bisa kredit motor dan rumah BTN tipe 36, setelah jadi pejabat tinggi negara, untuk shopping saja harus ke Paris lengkap dengan memboyong anak isterinya. Namun sungguh konyol ketika pada suatu hari di teve, seorang pejabat tinggi negara menegaskan jika ada orang yang menyatakan kinerja SBY-JK gagal, maka itu sungguh ingkar nikmat. Orang seperti ini sama sekali tidak punya empati pada rakyatnya dan melihat segalanya dari sudut kehidupan diri dan keluarganya sendiri yang sudah berubah, dari rumah kontrak petakan di kampung kumuh, bisa mendapat rumah dinas besar dan mewah di Widya Chandra, Gatot Subroto. Modalnya satu, jualan umat.(bersambung/rd)