Hal itu dianggap sebagai upaya cerdas Raja Abdullah untuk mengubah peta kekuatan di kalangan ulama, apalagi ketika ia juga mencopot ketua Haiatu al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar—yang dikenal sebagai polisi syariah—dengan ulama yang lebih moderat.
Keputusan berani Raja Abdullah untuk mengurangi pengaruh ulama garis keras ini kemudian juga diikuti Raja Salman dan Putra Mahkota Pangeran Muhammad. Mereka pun menabuh genderang perang terhadap fatwa haram ulama ketika mengeluarkan dekrit yang memperbolehkan perempuan menyetir mobil.
Kewenangan polisi syariah dari Haiatu al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar yang ada sejak 1940 pun mereka pangkas. Sedangkan, di Haiatu Kibarul Ulama yang beranggotakan 21 orang, mereka masukkan ulama-ulama baru yang beraliran moderat untuk menggantikan mereka yang beraliran keras. Sebuah kantor megah di Riyadh yang dijadikan pusat penyebaran Islam moderat pun mereka resmikan.
“Perang” terbaru terhadap kelompok garis keras pun ditabuh oleh Pangeran Muhammad ketika meluncurkan proyek raksasa Kota Moderm Neom beberapa hari lalu. Ia menegaskan, tidak ada tempat bagi ekstremisme atau kelompok-kelompok ekstrem di Saudi. ‘’Kami akan menghabisinya,’’ katanya.
Menurut pengamat Timur Tengah Abdurrahman al-Rasyid, meski Pangeran Muhammad berbicara mengenai Saudi dan masyarakatnya, tema melawan ekstremisme dan perlunya Islam moderat akan berpengaruh luas, tidak hanya di Timur Tengah dan negara-negara Islam, tetapi juga di dunia.
Ini karena Saudi—dengan Makkah dan Madinahnya—adalah kiblat dan pusat perhatian dunia. Dengan kata lain, Saudi tak akan lagi “mengekspor” paham Wahabi seperti dituduhkan banyak pihak. Islam moderat kini menjadi “barang dagangannya”.[jk/republikaonline]
Penulis: Ikhwanul Kiram Mashuri