“Sepertinya, konstitusi Saudi itu Alquran, hadis, dan kemudian minyak,” ujarnya ketika merilis Visi Saudi 2030 setahun lalu.
Lalu, apa hubungan Visi 2030 dengan ulama Wahabi? Ada dua persoalan yang dianggap bisa menghambat Visi 2030. Keduanya terkait erat dengan sikap dan pandangan ulama setempat (Wahabi).
Pertama, berbagai aturan—bersumber pada fatwa para ulama Wahabi—yang membelenggu hak-hak dan kebebasan perempuan. Berbagai aturan itu telah memosisikan perempuan Saudi selama puluhan tahun sebagai swarga manut neraka katut alias warga kelas dua.
Untuk mencapai Visi 2030, kaum perempuan Saudi harus produktif. Oleh karena itu, mereka harus menjadi mitra sejajar dengan laki-laki sehingga bisa ikut serta secara aktif memajukan negara.
Untuk itu, Raja Salman pun mengeluarkan dekrit yang memperbolehkan perempuan menyetir mobil. Sebuah dekrit yang akan merontokkan aturan-aturan lain yang difatwakan haram ulama Wahabi dan dianggap banyak pihak telah membelenggu hak-hak dan kebebasan perempuan.
Persoalan kedua adalah adanya kelompok-kelompok ekstrem. Sang Putra Mahkota menegaskan, ekstremisme atau kelompok-kelompok ekstrem adalah musuh negara dan bangsa, musuh pembangunan, dan musuh modernisasi. Penegasan itu ia sampaikan saat memberikan sambutan pada peluncuran proyek raksasa di pesisir Laut Merah, beberapa hari lalu.