Yahudi memang tidak identik dengan Zionis. Dan pendukung paham Zionisme tidak musti berkebangsaan Yahudi. Semenjak digulirkannya paham rasis ini, Zionisme mendapat banyak tantangan, baik dari kaum Yahudi ortodoks maupun oleh kalangan reformis di Amerika dan Inggris. Respons Yudaisme terhadap Zionisme mengandung berbagai makna: (1) Tujuan Zionis mempercepat kolonisasi Yahudi di ‘tanah yang dijanjikan’ adalah bentuk pelecehan dari doktrin messianisme. Zionisme telah mengubah konsep ‘the promise land’ menjadi nasionalisme tanpa Tuhan. (2) Mempercepat kedatangan sang messiah secara premature.
Beberapa tahun lalu, seorang Rabbi Yahudi ortodoks mengunjungi Indonesia dan menggelar seminar di Universitas Indonesia. Rabbi tersebut mendukung perjuangan Palestina dan menolak berdirinya Israel Raya.yang telah melanggar perintah Tuhan dalam Talmud. Merespons acara itu sejumlah media Islam-liberal Indonesia melansir bahwa Yudaisme tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Persoalannya, apakah para pengikut Yudaisme, termasuk: Naturei Karta dan The Haredi Movement ini tergolong dalam ahlul kitab? Dari sudut pandang Islam, yang dikategorikan kufur adalah mendustakan Nabi Muhammad saw dan segala hal yang beliau syiarkan. Oleh sebab itu, kaum Yahudi dan Nasrani tergolong kafir ahlul kitab. Lantaran mereka tidak mau mengakui kenabian Rasulullah saw. Jadi, sungguh ironis bila Yahudi dan Kristen turut mengklaim sebagai penerus agama Ibrahim.
Dalam kitab suci Islam, Yahudi dan Nasrani, Nabi Ibrahim as disapa sebagai ‘Sahabat Tuhan’. Begitu pentingnya peran Ibrahim dalam sejarah ketiga agama ini sebagai ‘Bapak Monoteisme’. Dalam keterkaitan Islam, Kristen dan Yahudi sering disebut sebagai Tradisi Ibrahim atau Abrahamic Faiths. Istilah tersebut telah lama dipublikasikan oleh banyak kalangan pengkaji agama-agama.
Bulan Oktober 2007, Harvard University menggelar konferensi ’Children Of Abraham’: A trialogue of civilization. Seperti klaim para pemerhati lintas agama, tujuan seminar itu tidak lain agar Islam, Kristen dan Yahudi yang menjadi generasi keturunan Ibrahim dapat bersinergi membuahkan saling pengertian dan toleransi demi menjunjung perdamaian dunia.
Sejatinya, bagi sejarah Islam, dialog antar agama bukan merupakan hal baru. Bila kita telisik sejarah, di Madinah Rasulullah pernah berdialog dengan bermubahalah bersama kaum Kristen Najran, selain itu Rasulullah saw bernegosiasi dengan komunitas Yahudi menggulirkan Piagam Madinah.
Pada galibnya, doktrin Islam, Kristen dan Yahudi sama-sama merasa sebagai penerima tongkat estafet millah Ibrahim. Kisah nabi Ibrahim versi Yahudi termuat dalam berbagai ayat dalam Bible. Yahudi mengklaim Ibrahim sebagai ’the first patriach of the people of Israel’. Ibrahim putra Terah, keturunan Noah melalui garis silsilah Sem yang menurunkan bangsa Asyria dan Aramea. Pohon keluarga ini yang kemudian dikenal dengan Semitic. Akhirnya, terjadi penyesatan opini, dimana setiap gerakan anti Yahudi disebut sebagai anti semit meski sebenarnya dalam keturunan Ibrahim terdapat pula silsilah bangsa Arab dari keturunan Ismail.
Menurut Dr Jerald F Dirks dalam buku Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, merepresentasikan:
‘ Dalam agama Yahudi, dialah orang yang pertamakali menerima perjanjian antar orang-orang Yahudi dan Allah. Dalam agama Kristen, ia adalah bapak leluhur yang terkenal dan penerima perjanjian pertama dengan Allah., perjanjian yang kemudian direvisi sebgai perjanjian Musa. Sedang perjanjian kedua dianggap diperkenalkan oleh Isa.’
Yahudi dan Kristen bersekutu dalam Bible melalui Perjanjian Lama, biasanya mereka mengklaim sebagai keturunan Ibrahim dari garis Ibrahim-Iskak-Yakub.
Dr Jerald F Dirks, menulis:
’Dalam agama Islam. Ibrahim adalah panutan iman yang teguh dan penganut monoteisme yang kokoh, nabi dan rasul dan penerima salah satu kitab wahyu asli yang diberikan Allah kepada manusia’.
Al-Qur’an mengilustrasikan sosok Ibrahim sebagai pembela dan penegak Tauhid. Dengan penekanan keimanan pada Allah swt sebagai jalan menuju keselamatan, tertulis dalam QS 3: 67
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.
Al-Qur’an memposisikan Ibrahim sebagai penentang kemusyrikan, tertuang dalam QS Al-An Am : 79.
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Dalam pandangan Islam, konsep millah Ibrahim adalah agama tauhid yang ditegaskan kembali oleh Nabi Muhammad saw. Dan hanya Islamlah yang istiqomah melanjutkan ajaran tauhid dari Nabi Ibrahim. Konklusinya, istilah ’Abrahamic Faiths’ yang berlaku bagi Yahudi dan Kristen sebagai millah Ibrahim jelas suatu kekeliruan. Bila dipaparkan secara mendasar, agama Nasrani dan Yahudi berpersepsi sama dalam Bible, namun berbeda pendapat dalam konsep trinitas. Antara Islam dan Yahudi berpandangan sama dalam masalah pengakuan Tuhan yang satu (monoteisme) tetapi sejatinya monoteisme bukanlah agama tauhid yang mengagungkan pengakuan Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dimana kita harus ikhlas diatur oleh Allah. Jadi, Tuhan yang satu bukanlah Yahweh atau Fir’aun. Dan, bila menolak tunduk kepada Allah meski mengakui Allah sebgai satu-satunya Tuhan bisa disebut sebagai kafir. Telah terbukti, bahwa Yahudi dan Kristen telah melakukan penyimpangan aqidah.
Sampai saat ini, Yahudi sebagai penganut monoteisme masih bersilang sengketa tentang siapa nama Tuhan mereka. Alih-alih Yudaisme sebagai agama yang disebarkan Nabi Musa as, justru Yudaisme adalah aqidah yang menyempal dari ajaran Taurat. Sedangkan agama Kristen merupakan keyakinan yang menelikung dari ajaran Isa as. Seperti halnya Yahudi, Kristenpun menolak kenabian Muhammad saw dan mengangkat Isa as sebagai Tuhan. Dan agama Kristen, juga tidak mengenal nama Tuhannya. Mereka hanya menyebut Tuhan sebagai God atau Lord.
Perlu dicermati, hanya Islamlah satu-satunya agama yang dikategorikan sebagai millah ibrahim. Dalam setiap sholatnya, umat Islam selalu membaca doa untuk nabi Ibrahim. Saat hari raya Islam: Idul Adha, merefleksikan kisah perjuangan hidup nabi Ibrahim as.
Jadi, meski di antara ketiga agama itu mengandung unsur-unsur persamaan, namun kita tidak dapat menafikan perbedaan yang sangat hakiki mencakup konsep dan nama Tuhan yang sejatinya merupakan intisari dari prinsip dasar agama. Atau jangan-jangan polemik ini adalah upaya dari kaum yang menjunjung prinsip liberty-egality-fraternity agar propagandanya diterima secara luas oleh semua kaum beragama dalam rangka menciptakan peradaban global.
Akhirul kalam, istilah agama-agama Ibrahim selayaknya tidak dipergunakan untuk menunjuk agama Yahudi, Kristen dan Islam. Dan sebaiknya kita tidak perlu menjustifikasi ketiga agama tersebut dalam sebuah persamaan. Tidak mustahil bila dipaksakan akan menumbuh-kembangkan paham pluralisme agama. Paham yang gencar mempromosikan prinsip keyakinan yang beragam akan menuju pada hakikat yang sama. Akan lebih bijak bila pluralitas dan diversitas dibiarkan tumbuh alami dalam harmoni kehidupan niscaya akan membuahkan dialog, sehingga dalam bermuamalah akan menghadirkan kerukunan antar umat beragama tanpa memaksakan persamaan di tengah perbedaan. Yang pasti aqidah, adalah ketetapan harga mati yang tak boleh ditawar. Bahwa kita bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dan Muhammad saw adalah utusan Allah swt. (tri/pz)