“Hak apa orang Inggris memerintahkan orang Surabaya sebuah bagian dari negara berdaulat” teriak Bung Tomo sambil menggebrak meja setelah mendapatkan laporan bahwa ada ultimatum bahwa orang Surabaya harus menyerahkan senjata sampai tanggal 10 November 1945. “Wah perang ini” kata Bung Tomo di depan banyak temannya.
Beberapa jam kemudian Bung Tomo memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan mobil lalu pergi ke Tebu Ireng, Jombang. Disana ia berjumpa dengan Hadratus Sjaikh Hasjim As’ary (kakek Gus Dur) untuk meminta pertimbangan. “Perang ini akan jadi perang sahid, perang suci karena membela tanah air, tapi sebelum saya putuskan bantu kamu baiknya kamu dzikir dulu, saya menunggu seorang Kyai dari Cirebon” Esoknya Hadratus Sjaikh berkata lagi pada Bung Tomo “Kamu perang saja, ulama membantu, santri-santri membantu”. Mendapat jaminan dan restu dari tokoh ulama, Bung Tomo langsung ke Surabaya dan meneriakkan di corong “Radio Pemberontak” …Saudara-saudara Allahu Akbar!!… Semboyan kita tetap: MERDEKA ATAU MATI. Dan kita yakin, saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar…!! Allahu Akbar…! Allahu Akbar…!!! MERDEKA!!!
Mendengar pidato Bung Tomo, orang Surabaya paham itu isyarat perang. Mayjen Mansergh juga ambil kesimpulan bakal ada perang beneran. Akhirnya tanggal 10 November tiba, sirene pagi berbunyi keras dan tak satupun rakyat Surabaya yang datang ke pos militer sekutu untuk menyerahkan senjata. Para pemuda membangun benteng-benteng pasir, menjalin kawat berduri, bersembunyi di jendela-jendela toko sudah perseneleng siap tempur.
Pagi hari Gubernur Surjo mendatangi beberapa tokoh pemuda. Gubernur Soerjo bilang “ini sudah keterlaluan Inggris, sudah tidak menganggap Pemerintahan Djakarta itu ada, tidak ada Republik Indonesia” lalu Gubernur Soerjo dengan blangkonnya berpidato “kita tidak mau dijajah kembali, Merdeka….!!” Jam 6 pagi dari arah pelabuhan di Surabaya Utara, kanon-kanon kapal perang Inggris sudah mengarah ke kota. Tembakan pertama meletus jam 6.10 dari sebuah kapal kemudian meletus lagi dari semua kapal berikutnya seluruh wilayah kota yang dekat dengan pelabuhan jadi korbannya.
Wilayah Surabaya Utara dihuni oleh banyak orang-orang Cina, Arab, India dan beberapa pedagang dari Bugis. Rata-rata dari mereka adalah pedagang. Rumah-rumah mereka hancur dengan tanah, tembakan kanon terus menerus menghancurkan Pasar Turi, Kramat Gantung dan Pasar Besar. Beberapa tempat sudah tak berbekas. Jam 7 pagi pasukan Inggris mulai masuk ke Surabaya. Mereka masuk ke kampung-kampung dan menembaki rakyat dengan membabi buta, ada orang tembak, ada pemuda tembak mati. Sekutu menendangi rumah penduduk dan mencari senjata, bila ada yang melawan tembak mati.
Rakyat Surabaya belum melawan, mereka masih siaga di posisinya masing-masing, belum ada perintah tembak dari Djakarta. Para penggede militer TKR di Djakarta dilapori situasi Surabaya terutama penembakan kanon di Surabaya Utara. Amir Sjafruddin yang saat itu mengurusi pertahanan langsung memerintahkan “Lawan!!” lalu datanglah perintah dari Djakarta agar rakyat Surabaya melawan.
Jam 9.15 milisi Surabaya sudah dapat kabar bahwa Jakarta menyetujui perang, lalu tembakan pertama kali terjadi di Pasar Turi dari pihak Republik. Di batas-batas kota rakyat mulai berdatangan memasuki kota, ratusan ribu orang memasuki kota Surabaya mempertahankan kedaulatan bangsanya yang sedang dihina Inggris dan Belanda. Pasukan resmi tentara juga mulai mengoordinasi, semuanya ikut dalam barisan milisi, pertahanan Republik langsung dibangun dari arah barat ke Timur, wilayah Asem Jajar dijadikan wilayah perang pertama antara sekutu dan Republik. Di wilayah ini pasukan sekutu berhasil dipukul mundur, beberapa dari mereka tewas ketika pasukan bambu runcing nekat maju dan masuk ke lobang pasir dimana mitraliyur ditaruh.