Soe Hok Gie paling menonjol, bagi dia “apalah arti sebuah nama” karena itu dia tetap mempertahankan nama Cina-nya, sementara kakaknya mengganti nama menjadi Arif Budiman.
Reputasi perjuangan Soe Hok Gie, selain menyerang Kantor Pemuda Rakyat PKI (Partai Komunis Indonesia) bersama PII (Pelajar Islam Indonesia), juga menyerang rumah Oei Tjoe Tat, salah satu menteri berpengaruh pada Kabinet 100 Menteri Bung Karno di saat terakhir kejatuhannya yang pro PKI.
Di saat bersamaan, dengan tiga Jenderal utusan Soeharto; Pangdam Jaya Mayjen TNI Amir Machmud, Pangdam Siliwangi Letjen TNI Ibrahim Adjie, dan Brigjen TNI M. Yusuf bernegosiasi mengenai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dengan Bung Karno. Soe Hok Gie dan Gemsos menyerang rumah Oei Tjoe Tat di Jalan Blitar No. 10 Menteng, Jakarta yang tuntutannya dikenal dengan nama Tritura, salah satunya adalah pembubaran PKI.
Dengan massa 300 orang, membawa kaleng minyak tanah dan batu, mereka memecahkan kaca rumah walaupun gagal membakar rumah pimpinan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) ini, organisasi kerukunan yang menjadi lawan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa).
Sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dari Soe Hok Gie sangat mengagetkan etnis Cina kala itu. Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) dekat dengan Barat yang anti Komunis, disponsori mahasiswa kelompok Bandung seperti Rahman Tolleng dan Suripto Djoko Said (Gemsos), Adi Sasono dan Soegeng Sarjadi (HMI/Himpunan Mahasiswa Islam), Suko Sudarso dan Siswono (GMNI/Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Khusus Gemsos sangat radikal, anti Cina karena kala itu berbau Komunis.