Setelah itu, atas dukungan dua pengusaha yang sangat dekat dengan Soeharto yakni Liem Sioe Liong dan Bob Hasan, Sofyan Wanandi “tempur” dengan Aburizal Bakrie (Ical), dan kawan-kawan. Singkat kata, Ical terpilih tanpa “restu” dari Soeharto, dia diterima di Istana tanpa foto bersama dan suasana yang dingin, terkesan sekali Soeharto tidak mendukung kepengurusan Ical di Kadin kala itu.
Sofyan Wanandi cs. kecewa, mereka lalu mendirikan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang menjadi wakil resmi pengusaha Cina jika membahas UMP (Upah Minimum Provinsi) dengan Pemerintah. Jelas, peran Sofyan Wanandi sangat besar di era Orde Baru dengan CSIS-nya.
Semasa reformasi, dia berperan besar membela pengusaha, khususnya sehubungan dengan tenaga kerja, yang dikenal dengan Tripatrit (pemerintah – pengusaha – dan buruh/tenaga kerja).
Konglomerasi Indonesia kuat karena dibina Soeharto yang ingin seperti model Chaebol di Korea, yaitu para konglomerat Korea yang bersatu dan berfungsi menguasai industri strategis, serta bertujuan untuk membangun kelas menengah Korea.
Ternyata, dengan peristiwa BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan kerusuhan 1998, konglomerat Indonesia justru menjadi beban pemerintah dan rakyat Indonesia. Dengan alasan keamanan, sebagian kabur ke luar negeri menjadi buron BLBI.
Pada pemerintahan Joko Widodo, Sofyan Wanandi berperan sebagai Koordinator Staf Khusus Wakil Presiden Yusuf Kalla. Tokoh etnis Cina kelahiran Sawahlunto ini “tidak ada matinya”, sejak awal Orde Baru sampai Orde Reformasi. Sukses di bidang politik dan bisnis di Grup Gemala, dan tergolong sukses dengan produk aki terkenal merek “Y”.
Soe Hok Gie, Arief Budiman, dan Yap Thiam Hien
Soe Hok Gie, Soe Hok Djien (Arief Budiman) dan Yap Thiam Hien lebih nasionalis dari rata-rata orang Indonesia. Mereka dibesarkan dalam suasana heroik Gestapu 1965 dan disebut dengan Angkatan 1966.